*disclaimer: ini tulisan saat Pilpres tahun 2019
NETRALITAS MEDIA ONLINE DALAM UMPAN KLIK
Menjelang pilpres salah satu yang paling aktif adalah media online. Dalam sehari satu media dapat mengeluarkan berita lebih dari 3. Mereka juga memanfaatkan media sosial untuk tempat promosi. Pada setiap berita dibuat kalimat pancingan yaitu umpan klik atau click bait. Tujuannya supaya pengguna media sosial tertarik membuka link berita tersebut. Dalam media online banyaknya jumlah pembaca akan mempengaruhi popularitas dan ‘kredibilitas’ sehingga akan mudah mendatangkan iklan.
Beberapa waktu lalu saya membaca berita di media online dengan judul “(nama capres) ingin Indonesia kembali ke jalan yang benar”. Kalimat umpan klik yang digunakan “Indonesia selama ini berada di jalan yang salah”. Ternyata dalam isi berita narasumber tidak mengatakan demikian. Yang dimaksud frase “jalan yang benar” adalah yang dicita-citakan pendahulu bangsa. Namun akibat dari kalimat pancingan itu kolom komentar penuh dengan sindiran, ejekan dan diskusi panas. Beberapa hari setelahnya saya cari kalimat itu sudah tidak ada, sepertinya sudah diganti. Di hari lain saya juga temukan berita tentang satu cawapres dengan judul “(nama cawapres): kami akan keluarkan kartu sakti” Di umpan kliknya tertulis “kartu ini lebih bagus dari punya (lawannya)”. Ketika dibaca isi berita tidak ada pernyataan seperti itu, sama sekali tidak ada pernyataaan yang membandingkan dengan kartu lawannya. Akibat umpan klik yang seperti itu lagi-lagi kolom komentar penuh dengan sindiran dan ejekan. Beberapa hari setelahnya kalimat itu diubah sepertinya, saya cari lagi sudah tidak muncul lagi.
Memang keistimewaan media online adalah dapat melakukan koreksi tulisan dan mengganti beritanya sewaktu-waktu, kecuali apabila sudah terlanjur di screen shot pembaca seperti yang tengah dihadapi Tirto.id saat ini. Walaupun secara resmi sudah meminta maaf karena sudah merugikan kedua kubu dan mengubah tulisan, tapi salah satu timses tetap melaporkannya berdasar tangkapan layar yang sudah dilakukan.
Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers menyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Walaupun hanya merupakan kalimat pendek, tetapi tentu saja umpan klik termasuk bagian dari berita, sebagaimana sorotan utama atau highlightpada media cetak sehingga memiliki tanggung jawab jurnalistik. Selain itu kode etik ini juga mewajibkan wartawan Indonesia untuk bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Kewajiban-kewajiban itu harus tercermin dalam berita yang ditulis.
Dewan pers juga mengeluarkan pedoman media siber yang mengatur bahwa ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab. Jadi prosedur yang benar bukan diturunkan dan diganti berita versi baru, namun tetap ditautkan dengan berita sebelumnya. Bila mengikuti prosedur yang benar maka seharusnya tidak ada berita yang dikeluarkan untuk ‘cek ombak’ atau malah mengarahkan opini publik dengan bungkus fakta dalam sudut pandang yang berbeda. Mungkinkah itu terjadi?
Seperti yang kita ketahui bahwa pendirian perusahaan pers di Indonesia dibuka seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia, dengan persyaratan yang tidak susah setelah kewajiban mengantongi SIUPP dicabut. Demikian pula dengan media online. Harus berbadan hukum, berdomisili di Indonesia dan mengurus izin pendirian sehingga siapapun dapat mendirikan perusahaan pers.
Menjamurnya perusahaan pers sejak beberapa waktu lalu juga meresahkan pemerintah, sehingga dewan pers mengeluarkan syarat terverifikasi administrasi dan aktual bagi media. Setelah saya coba search masukkan beberapa nama media online, ada yang tidak muncul sebagai yang telah terverifikasi, konten yang ditulis sudah ramai dibagikan teman media sosial saya, seperti h*rian*nd*, g*s*ri.id dan lainnya namun harian-harian tersebut melaksanakan kewajiban lainnya yaitu menacumkan pediman pemberitaan media siber. Melansir siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 2016 bahwa verifikasi ini bagus untuk menjaga kredibilitas pers yang belakangan mengalami degradasi akibat munculnya media sosial dan penggunaan secara serampangan. Tentang verifikasi dala website Dewan Pers dikatakan bahwa verifikasi faktual adalah upaya final Dewan Pers untuk membuktikan bahwa informasi yang terkait sebuah perusahaan pers sepenuhnya dapat dipercaya.Dalam pedoman Media Siber diatur bahwa media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi. Artinya untuk media yang belum terverifikasi dan beritanya “shareable” bagaimana pertanggung jawabannya? Karena ketika membagikan berita yang ‘provokatif’ pengguna media sosial selalu memberi tambahan caption diatasnya. Ketika beritanya tidak benar apakah yang memberi tambahan caption juga harus bertanggung jawab? Pengguna media sosial tidak punya banyak waktu untuk melihat daftar media terverifikasi yang dimuat di website Dewan Pers. Faktanya ada beberapa kasus yang memang mempermasalahkan caption pengguna media sosial yang sudah membagikan berita yang ‘salah’. Misalnya apabila bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Kalau hanya merujuk pada UU Ite maka siapapun akan dapat dipidana karena kalimat pada pasal 27 ayat (3) berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Tidak ada perkecualian disana.
Tidak salah bila dikatakan tahun politik ini memakan banyak korban. Selain dugaan pelanggaran Pemilu, pelanggaran atas UU ITE juga tidak kalah banyaknya. Melihat fakta yang ada, sangat mungkin mereka secara tidak langsung menjadi korban media yang tidak bertanggung jawab, yang tidak menegakkan UU Pers sebagaimana kewajibannya. Tentu kita masih ingat teguran KPI kepada MetroTV yang disampaikan pada tanggal 17 Januari kemarin. Wakil Ketua KPI Pusat, S Rahmat Arifin mengatakan bahwa Metro TV jauh dari prinsip independensi dan netralitas sehingga harus ada perbaikan mendasar dalam redaksi untuk mengembalikan METRO TV menjalankan tugas jurnalistik dengan jalur yang benar. Media sebesar itu saja diragukan independensi dan netralitasnya, bagaimana dengan media online yang semakin menjamur dan tidak semua terverifikasi yang coba-coba ‘memanfaatkan’ situasi?