JURNALISME atau “JOURNALISTEN”?

 

 

Media cetak, media elektronik terutama media online sekarang sering memuat berita yang hampir seragam. Yang diangkat adalah unggahan yang sedang ramai di media sosial. Selain untuk memenuhi target jumlah berita, cara ini terbukti lebih efektif, pihak yang terkait dengan obyek di video langsung bereaksi. Bahkan lebih cepat dari berita yang muncul hanya dari media konvensional. Bila dilihat lebih jeli kondisi ini sangat beresiko karena belum ada aturan main yang jelas disini.

Unggahan viral yang beredar seringkali hanya memuat bagian yang ‘dianggap seru’ atau yang menguntungkan pihak pengunggah. Belum lepas dari ingatan kita, dugaan pelecehan yang terjadi pada salah satu rs. Perawat dituduh melakukan pelecehan seksual. Dalam video tampak seorang perawat meminta maaf. Kemudian hampir semua media massa mengangkat video tersebut menjadi berita, hanya beberapa media yang melakukan cover both side yaitu melakukan wawancara dengan pihak perawat. Akhirnya perawat tersebut diberhentikan, ‘vonis’ masyarakat harus diterimanya walaupun proses persidangan belum berjalan. Kemudian Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan bahwa tidak terjadi misprosedur disana. UU no 40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa pers nasional memiliki peranan untuk mendorong supremasi hukum dan hak asasi manusia. Salah satu hak asasi warga negara adalah dianggap tak bersalah hingga keluar putusan pengadilan. Pers memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Kode  Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Persatuan Wartawan Indonesia juga mengatur bahwa wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.

Media massa sering mencantumkan komentar netizen yang berhubungan dengan unggahan. Anggaplah dari 100 komentar hanya dapat dimuat 10,bagaimana memilihnya? Komentar yang dimuat dapat menggiring opini masyarakat. Bertindak sebagai apakah netizen yang dimuat komentarnya? Tentu tidak tepat bila dikategorikan sebagai sumber berita. Bila ternyata komentar netizen yang dimuat merugikan salah satu pihak, bagaimana pertanggung jawabannya terutama karena yang bersangkutan tidak menyatakan setuju atau tidak komentarnya dimuat, komentar tersebut  ditulis di media sosial untuk menanggapi video atau gambar yang ada.

Dalam UU no 19 tahun 2016 yang merupakan perubahan atas UU no 11 tahun 2008 tentang ITE dinyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang  memiliki  muatan  yang  melanggar hukum. Di sisi lain UU Pers justru melarang pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap pers nasional. Pertanyaannya, bila unggahan di media sosial yang melanggar hukum dan terlanjur dimuat dalam media massa maka bagaimana wewenang pemerintah? Tentu akan lebih susah melokalisir efek dari unggahan tersebut.

George Soros (seperti yang diberitakan BBC) dalam sebuah jamuan makan malam menyebutkan perusahaan-perusaan teknologi yang melakukan ‘monopoli’ seperti Facebook dan Google merupakan ancaman bagi demokrasi karenamereka punya kekuasaan untuk membentuk opini.Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Niken Widiastuti juga mengatakan media sosial merupakan pilar kelima demokrasi, setelah pers yang disebut-sebut    pilar


keempat sebagai penyeimbang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Aturan yang belum jelas dalam penggunaan media sosial beresiko untuk disalah gunakan. Membuat akun media sosial yang mengatasnamakan citizen jurnalisme tidak perlu pendaftaran sebagaimana membuat perusahaan pers. Namun kekuatannya di masyarakat memiliki posisi yang sejajar dengan pilar demokrasi lainnya.

 

Penyiaran unggahan media sosial yang sedang menjadi viral dapatkah dinyatakan sebagai hasil dari kegiatan jurnalistik? UU No. 40 tahun 1999 tentang pers menyatakan yang termasuk kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuktulisan, suara, gambar,suara dan gambar,serta data dan grafik maupun dalam bentuklainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Ada proses dari hulu sampai hilir. Bukan hanya memyampaikan apa yang menjadi kasak kusuk di masyarakat. Itu ‘jurnalisten’ namanya.

Kondisi ini akan rentan dimanfaatkan, terutama dalam politik. Akun media sosial yang memiliki banyak pengikut akan laku untuk jadi ‘kendaraan’ pihak yang bertarung pada pemilihan kepala daerah hingga pilpresnanti. Setidaknya untuk menggiring opini. Pada pilpres2014 Dewan Pers mengeluarkan buku bekerjasama Thomson Foundation yang menyoroti tentang konglomerasi kepemilikan media yang mengancam kebebasan pers karena pemilik dapat dengan mudah mempermainkan fungsi pers sekadar menjadi alat kepentingan politiknya. Bukan tidak mungkin kondisi ini terjadi kembali dengan merambah media sosial. Siapa yang dirugikan? Tentu masyarakat, karena proses demokrasi akan mudah tercederai. Sudah saatnya pihak berwenang seperti Kemkominfo dan Dewan pers ‘turun tangan’ supaya kebebasan menggunakan media sosial oleh pers berbanding lurus dengan tanggung jawab yang diembannya.

*Sebagaimana dimuat di Jawa Pos, 2018

 

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)