
Kalau dilihat recap perjalanan hidup sepertinya kita harus setuju bahwa bukan cuma hidup, perasaan pun seperti roda berputar. Seding-senang-jatuh cinta-kecewa-repeat. Begituu terus. Bedanya hanya di subyek dan seberapa kuat rasa yang diberikannya. Sisanya sama.
Konon orang yang paling dekat menggoreskan luka yang paling dalam. Masuk akal sih. Karena orang terdekat adalah orang yang sudah sempat belajar banyak tentang kita. Saat dicintai, hasil ‘pengamatan’ itu akan dia gunakan itu untuk membuat kita happy, tapi saat cinta itu hilang dia yang akan sangat lihai untuk menyakiti. Miris ya, tapi itulah hidup. Karena itu kita tidak bisa bergantung sama orang lain. Yang brengsek akan merasa mereka nggak punya kewajiban untuk menjaga perasaan kita. Padahal bisa jadi kita sudah menggantungkan kebahagiaan kita padanya. pernah dengar kan cerita tentang ular peliharaan yang beberapa hari nggak mau makan, dikira pemiliknya sakit ternyata ular itu sedang menyiapkan perutnya untuk memangsa pemiliknya? Sama seperti ‘oknum’ orang terdekat yang awalnya rela berkorban ternyata dia hanya sedang menyiapkan diri untuk melukai.. Hati-hati ya dek ya 🙂
Manusiawi kalau setelah disakiti kita sangat emosi. Bukan hanya emosi, kadang-kadang sisi jahat diri kita yang selama ini terlelap tiba-tiba muncul lagi. Banyak yang menyarankan jangan emosi, lupakan semua rasa sakit, tetaplah jadi orang baik. Setengahnya saya setuju, setengahnya tidak. Karena menurut saya merasakan dendam setelah disakiti itu hanya bukti kalau kita mengambil kendali lagi atas diri kita. Bahkan binatang piaraan saja kalau disakiti dia akan melawan. itu namanya defence mechanism, bentuk membela diri. Dengan membiarkan semua rasa kecewa tumpah, kita bukan berubah jadi jahat, kita hanya kembali jadi manusia. Katanya emosi hanya akan membuat kita jauh dari bahagia, masa iya?
Stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang muncul di Yunani kuno sekitar abad ke-3 SM, didirikan oleh Zeno dari Citium di Athena (334–262 SM). Zeno menekankan bahwa kebajikan adalah satu-satunya hal yang diperlukan untuk hidup baik. Menurutnya, hidup sesuai dengan alam dan rasionalitas adalah esensi kehidupan yang baik.. Zeno yang awalnya adalah seorang pedagang, mengalami kecelakaan yang menyebabkan kapal dagangnya tenggelam. Setelah kehilangan segalanya, dia beralih ke filsafat dan mulai belajar dari berbagai filsuf di Athena. Stoikisme menekankan pentingnya pengendalian diri, rasionalitas, dan ketenangan batin dalam menghadapi kesulitan hidup. Filsafat ini mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak datang dari hal-hal eksternal, tetapi dari bagaimana kita bereaksi terhadap dunia.
Terdapat beberapa poin yang diajarkan dalam stoikisme:
Logika (Logike): Para Stoik percaya bahwa pemahaman dan penggunaan logika sangat penting untuk memahami dunia dan mengambil keputusan yang rasional. Mereka menekankan pentingnya menggunakan akal budi dalam segala situasi.
Fisika (Physike): Dalam konteks Stoik, fisika tidak hanya mengacu pada studi tentang alam semesta fisik, tetapi juga mencakup teologi dan metafisika. Mereka percaya bahwa alam semesta diatur oleh “Logos,” prinsip rasional yang mengatur segalanya.
Etika (Ethike): Etika adalah pusat Stoikisme. Stoik percaya bahwa satu-satunya hal yang benar-benar baik adalah kebajikan, dan satu-satunya hal yang benar-benar buruk adalah keburukan moral. Semua hal eksternal, seperti kekayaan, kesehatan, dan status, adalah “indifferents” — tidak baik atau buruk, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya.
Dichotomy of Control: Stoik menekankan bahwa ada dua hal di dunia: hal-hal yang berada di bawah kendali kita (pikiran, tindakan, keinginan) dan hal-hal yang di luar kendali kita (cuaca, tindakan orang lain, kematian). Kebahagiaan datang dari memfokuskan diri pada apa yang bisa kita kendalikan dan menerima yang lainnya dengan ketenangan.
Amor Fati: Konsep ini berarti “mencintai takdir.” Stoikisme mengajarkan kita untuk menerima segala hal yang terjadi, bahkan kesulitan dan penderitaan, sebagai bagian dari rencana alam yang lebih besar, dan menjalani hidup dengan sikap positif terhadap apa pun yang datang.
Virtue as the Only Good: Kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati dalam Stoikisme. Kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri adalah pilar kebajikan Stoik.
Living in Accord with Nature: Stoik percaya bahwa hidup yang baik adalah hidup sesuai dengan alam, baik dalam pengertian alam semesta maupun sifat alami manusia sebagai makhluk rasional.
Apateia: Ini adalah konsep kebebasan dari emosi negatif yang berlebihan seperti kemarahan, iri hati, atau ketakutan. Stoik tidak mengajarkan untuk menekan emosi sepenuhnya, melainkan untuk menanganinya dengan cara yang rasional dan tidak membiarkan emosi menguasai kita.
Prinsip stoik ini cocok untuk dijadikan pegangan setiap kali kita menghadapi masalah. Semakin berat masalahnya harusnya semakin kuat kita dapat memegang prinsip stoik dari diri kita. Bagaimana stoik juga mengajarkan kita untuk membebaskan diri merasakan emosi, itu membuat ajaran ini tidak terlalu susah diikuti. Prinsip stoik adalah tentang kebajikan, bukan hanya tentang kebaikan. Kebajikan lebih luas dari kebaikan, kebajikan merujuk pada perbuatan, tindakan, kesadaran, dan tenggang rasa yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, sedangkan kebaikan adalah sikap baik yang kita lakukan.
Stoik juga menekankan betapa kita harus cinta diri sendiri, lebih dari kita mencintai siapapun (dalam hal ini, diluar keluarga). Kelak ketika keadaan berjalan tidak sesuai dengan harapan, yang harus kita ‘selamatkan’ adalah diri kita. Berhenti mempertanyakan: apa yang kurang dari saya? kenapa semua jadinya begini, apa karena saya yang kurang memahami? kenapa semua orang jahat, apakah karena saya memang layak disakiti? dan sejuta pertanyaan yang menyalahkan diri sendiri. Stop ya dek ya..
Nggak ada yang salah dari kita, alam hanya menjauhkan kita dari orang yang akan lebih menyakiti kita seperti cerita ular tadi. Ular tadi pasti akan dijauhkan dengan pemiliknya, dan itu pasti akan menyakitkan, tapi jauh lebih baik daripada mereka tetap bersama dan sooner or later si pemilik dimangsa.
Semoga kita bisa memegang teguh konsep stoik dalam diri kita, supaya kita tidak terjebak pada ekspektasi dan kendali orang atas diri kita. Hidup cuma sekali, walaupun disakiti berkali-kali jangan pernah menganggap kita nggak berdaya ya. Saatnya, mengambil kembali kendali atas hidup kita. Jangan lagi mau terhanyut dalam kata karena satu-satunya suara yang tidak akan salah adalah suara hati kita, dan orangtua.
Keeerreeeennnn….tetap semangat untuk menjalani roda kehidupan….jangan lupa selalu tersenyum, semesta akan bersamamu
aamiiiin matur nuwun ya mas Noeee..