Akhirnya kasus Amaq Sinta dihentikan Polda NTB, setelah beberapa hari ini menjadi trending di social media. Kasus Amaq Sinta membuka mata masyarakat tentang hukum yang harus ditegakkan di negara kita. Indonesia merupakan negara hukum. Penegasan Indonesia sebagai Negara Hukum atau “Rechtsstaat” tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Di aliran Eropa Kontinental, pemikiran tentang konsep negara hukum diungkapkan oleh Friedrich Julius Stahl. Menurut Stahl ciri negara hukum adalah:
1. Terdapat jaminan atas hak asasi manusia (HAM)
2. Terdapat pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM
3. Terdapat pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
4. Terdapat peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan.
Prof Sri Soemantri dalam buku Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia (2004) juga berpendapat tentang unsur dalam negara hukum, yaitu:
1. Pemerintahan yang menjalankan tugas dan kewajiban berdasarkan hukum
2. Warga negara memperoleh jaminan atas hak-hak asasi manusia pada warganya
3. Pembagian kekuasaan dalam negara
4. Pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
Jaminan atas hak asasi manusia dianggap sebagai dasar untuk dilakukan pemisahan kekuasaan dan diadakannya badan peradilan. Hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Secara spesifik perindungan tentang HAM dalam bidang hukum diatur dalam UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 3 ayat (2) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum. Kepastian dan keadilan merupakan tujuan hukum, selain bahwa hukum harus memiliki manfaat untuk masyarakat.
Pihak Polda NTB menyatakan membebaskan Amaq Sinta dari status tersangka setelah seluruh media, baik yang konvensional, elektronik hingga media social ramai memberitakan tentangnya. Ini merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Amaq Sinta sudah mendapatkan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil karena mempertahankan benda dan nyawanya. Dua hal yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan pembelaan terpaksa.
Di sudut pandang yang berbeda, kasus ini membuktikan bahwa (sekali lagi) media merupakan pilar demokrasi. Pers adalah pilar demokrasi keempat, setelah Lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif. Presiden Jokowi mengapresiasi peran pers dalam hari Pers Nasional 2020 dalam sambutannya “Pers berperan besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dan menjaga kondisi bangsa dalam keadaan kondusif”.
Selain pers, harus juga kita akui bahwa media social juga memiliki posisinya sebagai pilar kelima demokrasi. Mengapa demikian? Karena media social juga seringkali melakukan hal sama dengan pilar lainnya. Banyak hal yang tidak proporsional ‘dikembalikan’ pada porsinya setelah ramai di media social.
Tercatat beberapa kasus besar ‘dikawal’ dengan sangat baik oleh netizen di media social, seperti kasus Prita Mulyasari, Baiq Nuril, Stella Monica dan sekarang Amaq Sinta.
Pengawalan media social dilakukan untuk melindungi tersangka atau terdakwa yang seharusnya menjadi korban. Banyak hal yang mempengaruhi penegakan hukum yang tidak proporsional, salah satunya karena intepretasi aturan yang kurang tepat. Menjamin tegaknya keadilan merupakan salah satu prinsip demokrasi menurut Henry Bertram Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960).
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Niken Widiastuti dalam satu acara mengakui media sosial merupakan pilar kelima demokrasi, setelah pers yang disebut-sebut pilar keempat sebagai penyeimbang eksekutif, legislatif dan yudikatif (22-12-2016).
Bila dilihat kondisi saat ini kekuatan media social tidak dapat diragukan lagi sehingga sebagai pilar kelima media social sudah secara sah dapat menyokong tegaknya demokrasi di negara kita.
Yang harus diwaspadai, bila kekuatan yang diberikan tidak diimbangi dengan pembatasan. Misalnya media social digunakan untuk melakukan public pressure dalam mengintervensi peradilan. Atau media social digunakan untuk menyerang lawan, baik dalam hal politik, bisnis atau bidang lainnya.
Kekuatan yang absolut selalu memiliki dampak yang tidak baik, sehingga dalam segala hal, kekuasaan harus berdampingan dengan pembatasan, sebagaimana pernyataan Lord Acton (1833-1902) yang relevan hingga saat ini : “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”