Dea onlyfans mendadak jadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Konon dia menjual video pribadinya di aplikasi khusus orang dewasa. Dia melakukan wawancara tentang aktivitas ilegalnya di podcast dan setelah itu yang berwajib (dengan mudahnya) melakukan penangkapan (untuk diminta keterangannya).

Pada saat itu netizen terbagi reaksinya menjadi dua: bahwa dia sudah menjual di tempat yang ‘tepat’ dan aplikasi tersebut berkedudukan di luar negeri) dan bahwa podcast yang didatanginya sengaja mengundangnya untuk dapat dijadikan alat bukti.

Dari dua hal itu saja kasus Dea ini menarik untuk dibahas. Apakah bisa kita pidanakan pembuat aplikasi tersebut, mengingat mereka tidak berdomisili di Indonesia. Onlyfans diluncurkan pada tahun 2016 dan berasal dari London, Inggris. Karena merupakan platform media social maka siapapun bisa mengaksesnya. Cukup membayar untuk berlangganan maka kita sudah bisa mengakses konten yang ada di dalamnya. Sebenarnya platform ini tidak dikhususkan untuk konten vulgar namun banyak pengguna yang menawarkan konten vulgar untuk menarik perhatian pengguna lainnya supaya banyak yang membayar untuk berlangganan konten tersebut. Demikian pula Dea, sebagaimana yang disampaikan dalam podcast yang memiliki subscriber 10 besar tertinggi di Indonesia.

Membuat, memperbanyak, memperjual belikan, mempertontonkan produk pornografi merupakan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang no 44 tahun 2008 tentang Pornografi.Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun dan denda maksimal enam miliar rupiah. Bila terbukti. Artinya dibutuhkan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.

Bagaimana dengan Onlyfans? Bisakah diancam pidana sebagaimana pembuat konten?

Seharusnya bisa, seandainya dibuat khusus untuk konten pornografi dan seandainya berdomisili di Indonesia karena setiap penyelenggara Sistem dan transaksi elektronik di Indonesia terikat untuk patuh pada PP no 71 tahun 2019 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang memuat kewajiban penyelenggara system eletronik untuk memastikan bahwa sistemnya tidak memfasilitasi penyebaran informasi elektronik yang melanggar undang-undang. 

 Namun karena platform ini adalah platform media social biasa dan biasanya (sebagaimana platform media social lain) di awal pendaftaran sudah ada aturan atau batasan tentang konten yang diperbolehkan dan bahwa platform tersebut berlepas diri ketika ada anggotanya yang melanggar aturan, maka konten yang diunggah pengguna adalah tanggung jawab pengguna. Kewajiban penyelenggara system elektronik hanya menurunkan apabila ada unggahan yang dianggap tidak layak bagi masyarakat.

Sempat muncul pertanyaan, bagaimana seandainya bila Dea mengunggah foto atau videonya ketika berada di luar negeri? Apakah juga bisa kena?

Ternyata pihak kepolisian merilis bahwa Dea mengunggahnya dari sini saja. Oleh karena itu kasus ini langsung masuk tahap Penyelidikan dan Penyidikan.

Penyelidikan dan penyidikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), begitupun asas Praduga tak bersalah atau Presumption of Innocence. Dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c diatur bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian juga yang diatur dalam pasal 8 UU NO 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Artinya tersangka dan bahkan terdakwa wajib dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.

Hal ini diatur karena KUHAP didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan negara sehingga sudah seharusnya di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia yang juga merupakan salah satu ciri negara hukum, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Seminar Nasional Indonesia tentang Indonesia Negara Hukum pada tahun 1966 di Jakarta.

 

Konstitusi kita juga mengedepankan beberapa perlindungan hak asasi manusia, sallah satunya dalam Pasal 28G (1) yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal 28D angka (1) juga mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum Dengan kata lain negara wajib melindungi kehormatan dan martabat semua warga negara tanpa kecuali.

Dalam kasus Dea dan beberapa kasus yang menyita atensi masyarakat, seringkali aparat penegak hukum melakukan koferensi pers yang menjelaskan secara gamblang tentang hasil penyelidikan dan atau penyidikan dengan menyebutkan nama (inisial) serta dugaan kronologi kasusnya. Cara begini diharapkan menjadi implementasi dari asas transparansi dengan tujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat pada Polri sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kapolri No 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan. Dalam Peraturan Kapolri tersebut juga diatur bahwa  yang termasuk kriteria “dikecualikan untuk dipublikasikan” adalah informasi yang dapat mengungkapkan identitas korban, saksi, dan tersangka yang belum tertangkap. Dengan kata lain penyebutan atau dimunculkannya jati diri tersangka yang telah ditangkap merupakan kriteria yang boleh untuk dipublikasikan. Namun dalam peraturan yang sama telah ditetapkan bahwa prinsip yang harus dipegang selain transparansi adalah proporsionalitas yaitu pada setiap kegiatan dalam pelayanan informasi penyidikan harus memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hak asasi manusia tersangka salah satunya.

Perkembangan kasus Dea memasuki babak yang lebih seru ketika pihak kepolisian menyampaikan nama comedian yang menjadi pembeli konten Dea. Penyebutan inisial dan dilanjutkan dengan nama dilakukan dalam rangka pemanggilan comedian tersebut sebagai saksi dalam pengembangan kasus Dea. Disebutlah nama comedian berhuruf depan M. Dalam berita Tempo.co (6 April 2022) Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan membenarkan identitas  komedian M yang akan diperiksa besok sebagai saksi kasus Dea OnliFans adalah komika Marshel Widianto. Berdasarkan Peraturan Kapolri identitas saksi masuk dalam kriteria dikecualikan untuk dipubikasikan 😊

Dalam UU Pornografi mengunduh (yaitu mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya) merupakan perbuatan pidana. UU ITE juga mengatur tentang konten yang melanggar kesusilaan dalam pasal 27 ayat 1 yang mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Perbedaannya terletak pada posisi yang pelaku, sebagai pengunggah atau pengunduh. Namun tidak demikian dengan kegiatan memiliki atau menyimpan produk pornografi, selama  untuk diri dan kepentingan sendiri maka bukan merupakan tindak pidana. Batasannya sangat tipis dan sedikit membingungkan orang awam.

Dalam kasus Dea, pihak saksi akan terancam apabila dia menggunakan internet untuk mengunduh atau bila dia ikut menyebarkan konten pornografi.

Namun, selama (misalnya) dia menerima konten tidak melalui internet maka bisa saja posisinya tetap akan aman.

Berita yang terbaru menjelaskan bagaimana Marshell membei konten Dea, yaitu melalui google drive. Google Drive termasuk ke dalam penyedia layanan cloud computing, yaitu menyediakan  ruang penyimpanan yang bisa diakses pihak lain dari perangkat yang berbeda. Biasanya (walaupun tidak harus) pengakses harus mendapatkan ijin dari pemilik data dalam drive tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, perbuatan yang dilarang dalam UU Pornografi adalah mengunduh. Sedangkan dalam menggunakan google drive pengguna dapat mengakses tanpa harus mengunduh suatu data. Pengaksesan dan pengunduhan adalah dua kegiatan yang berbeda. Saya rasa dibutuhkan penjelasan dari ahli IT tentang ini. Tinggal kita tunggu, semoga kasus ini akan membuka wawasan kita akan perbedaan definisi seperti yang terjadi dalam kasus Setya Novanto di tahun 2015 yang akhirnya mengedukasi kita tentang perbedaan antara perekaman dengan penyadapan.

Demi kepastian hukum dan keadilan, kita harus mengawal kasus ini karena memiliki efek domino dan banyak hal baru didalamnya, lebih dari sekedar jual beli konten pornografi.  

Setelah Marshell bisa jadi akan muncul pihak lain yang berkaitan dengan ini. Semoga pihak yang berwenang mengusut kasus ini dapat lebih melindungi pihak baru nanti karena melihat dari yang terjadi pada Marshell ‘vonis’ sebelum vonis sudah diterima saat ini walaupun posisinya (hanya) sebagai saksi.

Disebarluaskan sebagai pembeli konten vulgar bukanlah sesuatu yang menguntungkan. Terutama posisinya sebagai comedian yang sedang naik daun. Kehormatan dan martabatnya bisa saja jatuh.

Kenapa saya menggunakan frasa bisa saja? karena harkat dan martabat sifatnya sangat subyektif dan relative.

Menurut KBBI harkat adalah derajat (kemuliaan dan sebagainya) sedangkan martabat adalah harga diri.

Dan kedua hal ini sering kali berbanding lurus dengan popularitas seseorang di masyarakat.

Artinya semakin popular seseorang di masyarakat maka semakin tinggi ‘derajatnya’ di masyarakat walaupun terhadap siapapun, negara beserta penegak hukumnya wajib untuk melindungi harkat dan martabat semua warga negara, tanpa kecuali.

Semoga bukan hanya ‘huru hara’ yang menonjol dari kasus Dea ini namun bagaimana kita mengambil hikmah dan berbenah setelahnya.

 

 

Dr. Nynda Fatmawati Octarina,S.H.,M.H

Dosen FH Universitas Narotama Surabaya

 

 

 

 

 

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)