
Pemilu usai walaupun belum sepenuhnya. Masih ada penghitungan resmi dan putaran kedua apabila ada sebelum diputuskan siapa yang akan memimpin dan mewakili rakyat Indonesia 5 tahun mendatang. Segala bukti kecurangan, tuduhan dan permintaan untuk diulang kembali banyak diberitakan di media massa. Satu yang menarik yaitu berita tentang Komeng yang ternyata mencalonkan diri menjadi anggota DPD dan menggunakan foto yang out of the box sehingga mudah dikenali.
Memang, satu2nya lembar yang memuat foto calon adalah lembar untuk DPD. Hal ini berbeda dengan lembar calon legislatif DPR atau DPRD yang hanya tertulis nama saja. Mungkin ini alasannya beberapa artis (termasuk Komeng) mengajukan supaya nama artis mereka dapat digunakan dalam lembar pilihan.
Viral juga di media sosial, tiktok seorang caleg bernama Kukuh Hariyanto. Dalam konten-kontennya dia menggunakan lagu, menyanyi sambil bermain gitar seperti sedang mengamen dengan lirik memperkenalkan diri dan minta dukungan untuk dipilih pada pemilu ini. Karena sering masuk FYP maka lagu tersebut muncul di timeline banyak pengguna tiktok, anak saya sampai hapal lagunya karena musiknya memang enak di telinga.
Persamaan Komeng dan Kukuh: sama-sama tidak berkampanye secara ‘mewah’. Tidak perlu runtang runtung bersama rombongan caleg atau ketua partainya supaya terlihat eksis, tidak perlu pasang billboard/ baliho di sepanjang jalan untuk dapat menarik perhatian. Hasilnya: dua-duanya mendapatkan suara terbanyak di dapilnya. Kukuh Haryanto bahkan mendapatkan suara terbanyak diantara caleg partai yang sama (Demokrat) di dapilnya.
Banyak yang menganggap ini sebagai anomali setelah sekian lama banyak yang menganggap kalau maju jadi caleg harus pasang iklan dimana-mana. Ternyata kampanye secara militan cukup efektif, setidaknya itu yang terjadi pada Komeng dan Kukuh ini. Dalam sebuah media Komeng menceritakan bahwa dia juga membentuk tim sukses termasuk teman-teman komedinya. Memang, posisi Komeng sebgaai pelawak senior membuat banyak yang mengenalinya. Namun demikian, rata-rata yang memilihnya mengatakan bahwa mereka memilih karena tertarik melihat foto Komeng yang tidak biasa.
Walaupun tidak ngetop seperti Komeng atau menciptakan lagu seperti Kukuh, di dapil Jawa Timur juga ada satu calon anggota DPD yang mendapatkan suara terbanyak karena wajah cantiknya mencolok diantara calon lainnya. Namanya Kondang Kusumaning Ayu. Wajahnya yang glowing menarik perhatian pemilih. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5529976/viral-caleg-dpd-jawa-timur-banyak-dipilih-karena-foto-dan-wajahnya-glowing-disebut-senada-dengan-komeng
Kalau Komeng punya popularitas dan kredibilitas selama ini, maka bagaimana dengan Kondang? Sebagai ‘orang baru’, banyak pemilih Kondang yang mengatakan tidak tau apa program yang ditawarkan. Memilih karena Kondang terlihat ‘berbeda’ dengan calon lainnya, itu saja.
Apakah ini jadi masalah? Sebenarnya menguntungkan atau merugikan sih?
Tentu setiap orang punya referensi dan preferensinya masing-masing. Kalau menurut mereka memilih calon anggota dewan tidak ‘seserius itu’ maka ini bisa jadi PR kita bersama orang-orang yang peduli demokrasi. tentu kita ingat pada masa awal artis masuk menjadi caleg banyak yang terpilih karena terkenal di masyarakat padahal belum pernah terdengar sepak terjangnya di dunia perpolitikan Indonesia, banyak pihak yang meragukan mereka, toh mereka ‘aman-aman aja’ menjalani 5 tahun menjadi anggota legislatif. Dan hal ini memancing artis lain untuk mengikuti hal yang sama, termasuk partainya. Partai berlomba mengajak artis untuk jadi caleg dengan harapan banyak yang memilih karena alasan ‘pilih si ini soalnya ngetop sih’. Ini yang dinamakan vote getter.
The Democracy Center (http://www.democracyctr.org/) merumuskan beberapa pertanyaan untuk membuat strategi yang efektif dalam kampanye politik, diantaranya:
- Apa yang tujuan kita? (Goals)
- Siapa yang bisa mewujudkannya? (Audiences)
- Apa yang masyarakat ingin dengar dari kita? (Messages)
- Siapa yang harus menyampaikannya? (Messengers)
- Bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya? (Delivery – strategy and tactics)
- Kekuatan apa yang kita miliki saat ini? (Resources; strengths)
- Apa yang harus kita kembangkan? (Challenges; gaps)
- Bagaimana kita memulainya? (First steps)
- Bagaimana kita tahu efektivitas dari langkah ini? (Evaluation)
Cara Komeng, Kukuh dan Kondang meraih dukungan berhasil mengalihkan perhatian pemilih dari program yang mereka tawarkan. Apakah ini bagian dari strategi atau sebenarnya ini ironi? Dan apakah kondisi yang seperti ini ideal untuk demokrasi?
Dalam konstitusi kita pasal 22E ayat (6) dinyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diadakan untuk menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga, ke daerah.
Seharusnya anggota dewan selain sebagai penjaga demokrasi juga sebagai agent of change kita di masa depan. Kita yang harus bijak memilih. Pilih dengan hati dan pilih dengan hati-hati. Sudah saatnya kita memilih wakil berdasarkan kemampuan dan program mereka.
Kalau kita apatis terhadap program yang ditawarkan maka jangan protes kalau yang duduk di parlemen tidak bertindak sebagai wakil yang diharapkan.
Anomali Triple K (Komeng,Kukuh dan Kondang) layak untuk menjadi titik balik para caleg ke depan mengganti model kampanye dari yang mewah dan ‘tinggi’ menjadi dekat dengan masyarakat dan membumi. Masyarakat sudah jenuh dengan tipe kampanye yang kurang menyentuh. Masyarakat sudah banyak yang merasa hanya didekati saat caleg butuh. Cara kampanye yang sederhana bisa jadi lebih efektif untuk menarik minat pemilih.
Selanjutnya tinggal bagaimana para caleg ini beradu gagasan untuk masa depan bangsa. Tugas kita sebagai masyarakat hanya menyelaraskan gagasan mana yang sekiranya sesuai dengan keinginan kita untuk Indonesia di masa depan.