
Masih pembahasan tentang pemilu dan kampanye. Pencoblosan sudah selesai. Saat ini masih berlangsung penghitungan real count KPU namun sejauh ini perang komentar saling dukung dan saling sindir antar paslon masih ramai di media sosial.
Selama Pemilu 2024 di media sosial beredar banyak sekali video tentang paslon karena media sosial juga merupakan sarana yang dipilih untuk melakukan kampanye. Dan kalau ada penobatan lagu latar terbaik maka pilihan saya jatuh ke lagu Dawai, ciptaan Hendro Djasmoro dan Albert Juwono yang dipopulerkan oleh Fadhilah Intan. Lagu ini merupakan soundtrack dari film berjudul Air Mata di Ujung Sajadah.
Musik dan lirik yang mendayu sukses membawa kita baper parah. Suara penyanyi yang halus dan musikalitas yang bagus membuat lagu ini selalu berhasil memunculkan rasa iba.
Sepertinya semua paslon pernah dibuat video dengan latar lagu Dawai ini dan video tersebut mengundang ribuan komentar mendukung yang biasanya ditutup dengan emoticon menangis. :’)
Nggak cuma netizen biasa, artis juga sering ikut komentar pada video paslon versi Dawai ini,entah karena ikut baper atau memang karena dia masuk barisan buzzer.
Salah satu contohnya:
Sehari setelah debat capres, mondar mandir di FYP video pak Prabowo dengan latar belakang lagu Dawai ini. Banyak yang iba, banyak komen menghujat lawan debatnya. Tau nggak videonya isi apa? Pak Prabowo sedang mengelap keringat. Captionnya kurang lebihnya bahwa “kasian pak Prabowo waktu debat semalam, diserang bertubi-tubi padahal beliau orang baik sekali”. Malam itu memang semua paslon diberi waktu untuk saling bertanya dan menyanggah karena memang itulah esensi dari sebuah debat.
Tapi karena diambil secuplik tayangannya dan diberikan background musik Dawai, maka mengelap keringatpun tampak seperti sedang mengusap air mata. Itu yang saya maksud sebagai Dawai Effect 🙂
Bukan hanya pak Prabowo, Pak Anies dengan keluarga, bu Mega dan pak Ganjar juga punya video Dawai versi masing-masing. Entah siapa yang buat, simpatisan atau partisan. Jadi alurnya : ada yang bikin, video FYP dan pada me-repost.
Apakah cara ini berhasil?
Menurut saya, sangat berhasil. Tipikal orang Indonesia yang terkenal baik hati, tidak sombong, gampang trenyuh dan suka menolong nggak bisaan kena yang begini. Setiap ada video orang tampak ‘terdholimi’ netizen langsung merasa ini adalah panggilan untuk penyelamatan seperti Damkar ditelpon warga.
Koment-repost-maki2 ‘tersangka’ walaupun belum jelas masalahnya adalah jalan ninja netizen untuk membela yang lemah. Padahal sebenarnya justru kita yang lemah karena gampang terbawa rasa. Kita akan sering jadi target ‘provokasi’ dengan berbagai cara. Intinya mereka ingin kita jatuh hati dan bereaksi, salah satunya dengan memanfaatkan Dawai Effect ini
Kita punya banyak cerita plot twist dari sebuah video yang beredar luas. Saya ingat banget plot twist pertama yang menghebohkan dunia permedsosan adalah beredarnya video candid di lampu merah, dua laki-laki berboncengan motor. Laki yang dibonceng peluk erat yang membonceng. Wih komennya luar biasa menghujat dan menuduh mereka sebagai sepasang kekasih. Hingga akhirnya seorang ibu muncul dan klarifikasi ternyata mereka berdua adalah putra si ibu, yang dibonceng adalah adik dari yang membonceng dan mereka baru bertemu kembali setelah sekian lama si adek belajar di luar negeri!. Akibat viralnya video itu, si Ibu bercerita si adek ‘kena mental’ dan takut keluar rumah karena takut melihat tatapan orang. Setelah beredar kalrifikasi tersebut tau dong apa yang terjadi berikutnya? Seketika netizen saling menyalahkan karena sudah suudzon kepada kakak adek itu, netizen juga menyalahkan pengunggah yang telah diam-diam merekam dan menyebarkannya.
Kalau dilihat lagi, sebenarnya cerita diatas bukan plot twist ya, ini hanya tentang netizen kita yang sedang termakan ‘provokasi’. Kita terlalu percaya pada rekaman 60 detik dan candid pula. Kita buru-buru menyimpulkan sesuai dengan arahan pengunggah melalui caption dan suara. Kita juga buru-buru menyerang ‘tersangkanya’. Pada akhirnya, ternyata cerita aslinya berbeda.
Ini kritis yang bukan pada tempatnya atau jangan-jangan ini karena kita sumbu pendek aja? *_*
Balik ke lagu Dawai, Dawai dalam hal ini dipakai sebagai pendukung suasana dan penyempurna narasi. Bisa jadi mengedit video menggunakan lagu Dawai merupakan salah satu strategi jitu.
Sebenarnya kalau kita merasa seperti ditipu bukan salah pengunggahnya, mereka mah suka-suka mau posting apa saja. Masalahnya justru di kita, berapa lama lagi kita bersedia jd ‘korban provokasi’? Sudah lama kita menguasai media sosial bukankah seharusnya kita sudah pintar memanfaatkannya?
Microsoft pernah melakukan Riset tentang Digital Civility Index (DCI) dan menjadi tamparan yang cukup keras bagi netizen di Indonesia. Hasil riset di 32 negara dengan 16.000 responden menyatakan bahwa netizen Indonesia merupakan netizen yang paling tidak sopan di Asia Tenggara. https://digitalsociety.id/2021/04/27/press-release-the-downfall-of-indonesian-netiquette-and-whom-to-blame-netizen-or-policy-difussion-47/. Kita tidak boleh bangga karena ini bukan pencapaian tapi penilaian.
Karena itu, seharusnya pertanyaan berikutnya adalah “NOW WHAT?” dan bukannya “SO WHAT?”