Tinggal sebulan lagi kita akan melaksanakan pesta demokrasi. Sudah ada pilihan sejauh ini? Yang tenang, yang gemoy atau yang ganteng? hehe..

Setiap orang pasti punya preferensi berdasarkan referensi yang dimiliki. Sebagai contoh, dalam satu kecelakaan, pasti akan ada yang gercep menolong, ada juga yang sibuk untuk mencaritau penyebab kecelakaannya hingga ada yang buru-buru ambil kamera dan sibuk mengabarkan pada followernya. Ini juga bisa menjadi contoh bahwa pilihan atau tindakan yang dilakukan tergantung pada apa yang ‘ditanamkan pada otak’ selama ini. Bila seseorang tinggal diantara orang-orang yang peduli satu sama lain maka begitu melihat kejadian yang akan dilakukan pertama adalah menolong korban, demikian juga sebaliknya.

Etapi menurut saya, pemilu 2024 ini lebih menarik daripada yang 2019 lho. Mungkin karena nuansa dikotomi yang terlalu terasa. Tahun ini ada 3 paslon yang maju. Tapi entah kalau ternyata nanti harus 2 putaran..

Yang menarik lainnya adalah dalam pemilu kali ini adalah bagaimana partai-paslon tersingkap karakter aslinya. Yang katanya partai paling asik dan independen ternyata selama ini menggantungkan diri pada satu tokoh sampai harus menjilat ludah manakala tokoh yang jadi pegangan mereka ini justru memutuskan untuk berkongsi dengan ‘mantan rivalnya’. Si tokoh ini punya alasan pribadi yang merupakan rahasia umum kenapa berbalik merangkul mantan rivalnya tersebut. Masalahnya partai ini sudah sempat menobatkan mantan rival tokoh ini dengan gelar yang memalukan, eh.. sekarang berbalik malah jadi pendukungnya. Akhirnya mereka beralibi cuma ikut apa kata si tokoh. Dan yang paling jauh, mereka sampai rela menjadikan anak si tokoh sebagai ketua supaya lebih meyakinkan bahwa partai ini pendukung garis keras Bapak itu…. wkwkkwk pusing ya? sama, padahal itu baru pandangan saya yang awam, gimana realitanya ya?

Manusia memang gak bisa terlalu lama bersembunyi dibalik persona. Dalam konteks psikologi, persona merujuk pada citra atau karakteristik yang seseorang tunjukkan kepada dunia luar. Ini adalah bagian dari diri seseorang yang mereka pilih untuk dipresentasikan kepada orang lain, seringkali untuk menciptakan kesan tertentu. Persona ini dapat mencakup perilaku, gaya berbicara, dan ekspresi diri yang ditampilkan di hadapan orang lain.

Penggunaan persona dalam konteks politik seringkali terkait dengan upaya untuk membangun citra publik yang kuat dan menarik, yang dapat mendukung kampanye politik.

Namun, perlu dicatat bahwa terdapat resiko dan kritik terhadap pendekatan ini, terutama jika persona tidak otentik atau hanya sebagai strategi pemasaran politik. Pemilih cenderung menghargai keaslian dan integritas dari calon presiden sehingga upaya untuk menciptakan persona harus sejalan dengan nilai-nilai dan tindakan sebenarnya calon tersebut. Ilustrasinya begini, warna hitam tidak akan bisa lama bersembunyi dibalik warna putih. Lama-lama warna putihnya akan semakin pudar atau malah luntur bila selalu terkena air atau cairan lain. Selalu siaga menyembunyikannya dari air atau cairan lain itu tidak mudah. Terutama bila si penjaga juga punya kepentingan pribadi yang berbeda. Memang dalam teorinya perubahan atau kehilangan persona dapat disebabkan oleh faktor-faktor, seperti perkembangan pribadi, perubahan strategi hingga kondisi eksternal.

Saat ini ada 3 paslon yang muncul beserta cap yang menempel padanya. Ada yang buatan masyarakat ada yang memang buatan tim kampanyenya. Tidak ada yang salah, hanya akan jadi masalah kalau ternyata perbedaan antara persona dan karakter aslinya terlalu jauh. Karakter akan mempengaruhi cara seseorang mengambil keputusan. Dan menjadi pemimpin negara akan dibutuhkan untuk memberikan keputusan yang tepat dan terbaik untuk bangsa. Kalau perbedaan antara apa yang ditampilkan saat kampanye dengan aslinya terlalu jauh maka potensial timbul retensi dari masyarakat karena masih terpengaruh dengan sosok yang dikenal selama kampanye paslon pilihannya.

Semoga masyarakat bisa melihat bukan hanya yang ditampilkan tapi juga yang disembunyikan. Sebenarnya tidak susah karena masing-masing calon bukan orang baru dalam dunia perpolitikan, sepak terjangnya tidak perlu diragukan lagi. Namun masalahnya masyarakat kita masih banyak yang mudah terpengaruh konten media sosial sehingga media sosial dianggap sebagai media yang sangaat efektif untuk sarana kampanye sejak pilpres 2019. Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang Indonesia atau siapa pun di berbagai tempat mudah terpengaruh oleh konten media sosial yang merupakan kombinasi dari beberapa elemen. Beberapa alasan tersebut mungkin meliputi:

  1. Platform media sosial menggunakan algoritma untuk menyesuaikan konten yang ditampilkan pada pengguna berdasarkan preferensi dan perilaku sebelumnya. Jika kita terus-menerus berinteraksi dengan konten tertentu maka platform medsos yang kita gunakan akan cenderung menampilkan lebih banyak konten serupa. Hal ini dapat menciptakan gelembung informasi dan memperkuat pandangan yang sudah ada.
  2. Konten yang viral dan sensasional sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian dan berbagi di media sosial. Mayarakat cenderung terpikat oleh judul yang menarik atau konten yang mendebarkan, tanpa memeriksa keakuratan atau kebenaran informasi tersebut. karena itu semakin banyak content creator termasuk buzzer berlomba-lomba membuat konten yang sensasional supaya viral.
  3. Tingkat literasi media yang rendah dapat membuat orang sulit untuk menilai keandalan informasi yang mereka temui di media sosial. Pengguna media sosial seringkali kurang kritis terhadap informasi yang mereka baca sehingga lebih rentan terhadap penyebaran informasi palsu atau menyesatkan.
  4. Tidak jarang masyarakat kita mengandalkan media sosial sebagai sumber utama berita dan informasi karena keterbatasan dalam mengakses sumber informasi atau berita.

Karena Pemilu tinggal sebulan lagi, semoga bulan depan masyarakat rela untuk berbondong-bondong datang ke TPS karena tanggal itu menurut berita bertepatan dengan rangkaian libur yang lumayan lama. Yang tidak kalah penting semoga petugas dan penyelenggara Pemilu dapat menjaga kredibilitas dan integritas mereka.

Saya penasaran siapa diantara para paslon yang berhasil mendapatkan kepercayaan masyarakat, dengan catatan tanpa pengondisian dan kecurangan. Karena ini bukan hanya tentang kekuasaan tapi juga tentang penundukan diri dari masyarakat secara sukarela untuk ‘diatur’ oleh pemerintah dan bukan karena dipaksa. Pemilu tinggal sebulan lagi, semoga kita berhasil memilih yang terbaik untuk bangsa ini.. :’)

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)