
Rabu, 24-1-2024 ramai di media pernyataan Presiden Jokowi tentang Presiden dan menteri boleh berpihak dan kampanye dalam kontestasi Pemilihan Umum. Pernyataan ini terdengar sangat janggal karena memang selama ini kepala negara kita selalu berusaha terlihat netral walaupun hampir mustahil, pasti adalah spill-nyalah presiden lebih condong kemana. Tapi kita patut apresiasi usaha keras mantan presiden kita dalam menahan diri untuk menjaga demokrasi 🙂
Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kedaulatan penuh di tangan rakyat. Rakyat yang memilih dan memutuskan ingin diwakili dan tunduk kepada siapa dan untuk apa. Karena itu diberikan kesempatan memilih. Karena kekuasaan di tangan rakyat, maka tunduknya rakyat kepada pemerintah secara sukarela termasuk dalam pilihan.
Pernyataan Pak Jokowi tentang presiden boleh kampanye memancing banyak reaksi. Banyak yang menganggap statement tersebut tidak tepat namun ada pula yang menyatakan bahwa presiden juga rakyat, selama tidak menggunakan fasilitas negara maka boleh-boleh saja.
Beberapa tokoh mempertanyakan kapan presiden menanggalkan fasilitas negara bilamana aktif melakukan kampanye? apakah paspampres yang berkewajiban melakukan penjagaan dan pengawalan juga merupakan fasilitas yang diberikan kepada kepala negara yang wajib ‘ditanggalkan’ sementara? Bagaimana dengan mobil kepresidenan? Hal ini menyeruak sejalan dengan beredarnya video yang menunjukkan jari dengan angka 2 dari dalam mobil kepresidenan saat sedang berjalan sambil menyapa warga.
Sebenarnya bagaimana UU Pemilu mengatur tentang ini?
Indonesia pernah punya perangkat aturan tentang Pemilu yang terpisah masing-masingnya, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 20O8 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Beberapa perangkat undang-undang tersebut akhirnya disatukan dalam Undang-Undang nomer 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam UU tentang Pemilu yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo ini juga diatur tentang siapa saja yang dilarang terlibat dalam kampanye sebagaimana yang diatur dalam pasal 280 ayat (2):
Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha
milik daerah;
e. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga
nonstruktural;
f. aparatur sipil negara;
g. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. kepala desa;
i. perangkat desa;
j. anggota badan permusyawaratan desa; dan
k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim
Kampanye Pemilu.
(4) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j,
dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu.
Kemudian lebih lanjut diatur dalam Pasal 281:
(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil
gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.
(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU
Aturan kampanye Presiden dan wapres secara khusus diatur pada Pasal 299:
(1) Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.
(2) Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak melaksanakan
Kampanye.
(3) Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai, anggota Partai Politik dapat melaksanakan
Kampanye apabila yang bersangkutan sebagai:
a. calon Presiden atau calon Wakil Presiden;
b. anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU; atau
c. pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Terkait fasilitas yang boleh atau tidak digunakan Presiden pada saat kampanye diatur dalam Pasal 304:
(1) Dalam melaksanakan Kampanye, Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara, pejabat daerah
dilarang menggunakan fasilitas negara.
(2) Fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan
kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya;
b. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik Pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik
pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan
dengan memperhatikan prinsip keadilan;
c. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah
provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan
d. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah
Jadi presiden, gubernur hingga walikota dan bupati tidak boleh melakukan kampanye di rumah jabatan, kantor dan mobil dinas. Tidak disebut termasuk tim paspampres, artinya paspampres masih melekat walaupun Presiden sedang cuti kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 305
(1) Penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan Presiden dan Wakil Presiden menyangkut
pengamanan, kesehatan, dan protokoler dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan secara
profesional dan proporsional.
(2) Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden, fasilitas
negara yang melekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan sebagai Presiden dan
Wakil Presiden
Bagaimana apabila ada yang melanggar?
Kita punya Bawaslu, yang bertugas melakukan penindakan atas pelanggaran pemilu (yang bukan merupakan tindak pidana ya), yang berwenang untuk menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu. Namun Bawaslu juga berkewajiban untuk menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan (pasal 96).
Bingung nggak, bagaimana kalau seandainya ada Presiden yang melanggar UU Pemilu? Bawaslu yang menerima laporan, Bawaslu juga harus melaporkannya kepada Presiden 🙂
KPU juga pernah berada dalam posisi yang sama, yang diatur dalam Keppres no 16 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum yang mengatur bahwa KPU bertanggung jawab pada Presiden. Namun pada UU Pemilu pasal 11 ayat (3) diatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Ketua KPU, ketua KPU Provinsi, dan ketua KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada rapat pleno. Hal ini sejalan dengan konstitusi kita pasal 22E ayat (5) yang mengatur bahwa Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan terkait KPU dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga negara yang posisi dan kedudukannya sama dengan lembaga negara lain seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung.
Karena saat ini ramai diberitakan tentang polemik pernyataan pak Jokowi tentang kampanye yang dianggap tidak sesuai dengan aturan maka untuk menghindari konflik kepentingan apabila terjadi pelanggaran Pemilu suatu saat nanti, idealnya Bawaslu juga dijaga independensinya untuk menjaga netralitas sebagai pengawas mengingat perannya juga penting dalam penyelenggaraan Pemilu sebagaimana KPU.
Jadi, Presiden boleh kampanye nggak nih?
Boleh aja dengan ketentuan UU PEMILU pasal 281 ayat1