
99 Sesat Pikir dalam Investasi, Bisnis dan masalah Pribadi

ini adalah buku yang bisa menambah referensi dalam berpikir anti mainstream.
Buku ini memberikan ‘pandangan’ lain dari apa yang kita pikirkan tentang satu hal selama ini. Penulis menggunakan kata bias dalam hampir setiap judul bab buku supaya kita sepakat bahwa telah terjadi logical fallacies selama ini. Contoh ketika dia meminta kita berhenti berpikir bahwa Harvard adalah kampus mencetak orang pintar. Orang lulusan Harvard pasti akan menjadi pintar, karena dari awal orang yang pintarlah yang bisa masuk kampus tersebut. demikian juga dengan penggunaan make up membuat kita akan secantik modelnya. Mereka (model tersebut) dari awal memang sudah dipilih karena sesuai dengan representasi produk make up yang akan dipromosikan, sehingga bukan produk make up yang membuat mereka menarik, tapi memang mereka sudah menarik sebelum terpilih 😀
Itu satu dari banyak bias yang dibahas di buku ini.
Pada bab lainnya ada tulisan tentang kecenderungan orang memilih peta yang salah daripada tidak ada peta. Berapa banyak diantara kita yang lebih memilih ditemani orang (walaupun sudah tahu bahwa orang itu) tidak tepat daripada menghadapi hari sendirian? Mungkin ini yang menjelaskan kenapa pelaku LDR ‘mengisi kesendiriannya’ dengan orang lain. Dan bias ketersediaan (availability bias) yang membuat kita meyakini satu hal hanya karena hal tersebut sering dibahas berulang, seperti kita meyakini UFO ada karena saat itu pembahasan tentang UFO sangat masif dan diulang-ulang. Membaca ini saya jadi inget fenomena post truth yang terjadi saat ini. Satu kebohongan yang dibahas secara terus menerus lama-lama akan diterima sebagai sebuah kebenaran. Bahkan bila kebenarannya diungkap, bukan tidak mungkin kebohongan sebelumnyalah yang lebih diterima..
membaca buku ini menarik untuk membuka logika berpikir baru, supaya kita tidak melulu ikut apa yang dipikirkan kebanyakan orang.
Kita pun diajak untuk tidak terlalu percaya dan selalu membuat pola terhadap semua hal.
kalimat seperti “bersakit dahulu baru bersenang kemudian” “no pain no gain” juga tidak luput dari pembahasan dalam buku ini. Pola “sukses setelah menderita” adalah pola yang tidak berdasar. Tidak semua orang yang hidupya menderita akan mengalami kesuksesan. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada jaminan tentang itu. Kalimat sukses setelah menderita sama halnya dengan ketika kita mendapat pertanyaan : saya sudah menderita, kira-kira kapan ya suksesnya?.
Memang ada beberapa hal dalam buku ini yang diminta untuk ‘dilepaskan’ dari perspektif agama. Karena bicara tentang agama kita berbicara tentang keyakinan. Sedangkan apa yang ditulis dalam buku ini semata-mata untuk memberikan referensi kita untuk berpikir ulang tentang apa yang telah kita pahami hanya karena “semua orang bilang begitu”..
selamat membaca! 🙂