
Unifikasi Hukum merupakan keseragaman (kesatuan, kesamaan) hukum. Di indonesia unifikasi sudah terwujud dalam bidang-bidang hukum publik (seperti:hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pajak, hukum acara pidana). Sedangkan dalam hukum privat masih pluralistik, kecuali dalam bidang-bidang hukum tertentu seperti: UU.No. 5/1960 tentang UUP, UU No 1/1974 tentang perkawinan, UU No.4/1996 tentang hak tanggungan, UU No.42/1999 tentang jaminan fidusia, UU No.16/2001.tentang yayasan dan lain-lain.
Unifikasi Hukum ialah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk dierlakukan agi seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut.
Dari pengertian tersebut, maka unifikasi hukum dapat diartikan sebagai penyatuan berbagai hukum menjadi satu kesatuan hukum secara sistematis yang berlaku bagi seluruh warga Negara di suatu Negara.
Beberapa hukum yang telah di unifikasikan di indonesia misalnya sebagai berikut.
1. Undang–undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria.
2. Undang–undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
3. Berbagai Undang–undang lainnya, seperti Undang-undang Anti korupsi, Undang–undang antisubversi, Undang–undang Narkotika, dan sebagainya, yang mana kesemua Undang–undang ini berlaku tanpa terkecuali agi seluruh bangsa dan di seluruh wilayah indonesia.
Tujuan dilakukan unifikasi suatu hukum pada dasarnya ialah sebagai berikut.
a. Untuk menjamin kepastian hukum, dalam arti kepastian berlakunya suatu hukum bagi seluruh masyarakat di negara yang bersangkutan, mengingat hukum itu telah diseragamkan berlakunya bagi semua orang di negara tersebut, tanpa adanya pembedaan menurut suku, golongan, agama, atau berbagai faktor lainnya,
b. Untuk lebih memudahkan masyarakat dalam mngetahui dan menaatinya.
c. Sependapat mungkin mencegah hal-hal dibawah ini.
1. Kesimpangsiuran pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang hukum yang berlaku bagi diri tiap-tiap warga untuk ditaatinya.
2. Mencegah berbagai kemungkinan penyelewengan hukum, baik yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang umumnya beralasan pada kesalahpahaman tentang hukum yang berlaku, mengingat memang begitu banyaknya hukum yang berbeda-beda cara pengaturannyabila hukum itu belum di unifikasikan.
3. Keadaan berlarut-larut dari tidak mengertinya atau belum mengertinya banyak warga masyarakat mengenai hukum mana yang berlaku bagi dirinya, bila seandainya hukum itu belum diunifikasikan.
UNIFIKASI HUKUM
Yaitu Memberlakukan satu jenis hukum untuk semua golongan penduduk dalam satu tempat/daerah.
contohnya:
• UUPA
• Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
• dibentuknya UU Perkawinan sebagai penyatuan dan penyeragaman hukum untuk diberlakukan di negara Indonesia sebagai hukum nasional yang mengatur tentang perkawinan.
Umar Said dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia Sejarah dan Dasar-Dasar Tata Hukum Serta Politik Hukum Indonesia yang dikutip oleh Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, dalam Jurnal Advokasi Vol. 5 Perkembangan Hukum Indonesia dalam Menciptakan Unifikasi dan Kodifikasi Hukum (hal. 118), menyebutkan bahwa unifikasi adalah penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional.
Penyatuan hukum secara nasional untuk hukum yang bersifat sensitif yaitu hukum-hukum yang mengarah kepada pelaksanaan hukum kebiasaan sangat sulit untuk diunifikasi karena masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang berbeda seperti contohnya Undang-Undang tentang Pornografi yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat di daerah yang menganggap jika dilaksanakan akan mempengaruhi esensi pelaksanaan kegiatan adat di daerah mereka.
Contoh unifikasi hukum lainnya yang kami temukan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dimana di setiap wilayah Indonesia memiliki adat tersendiri dalam perkawinan. Oleh karenanya, dibentuklah UU Perkawinan sebagai penyatuan dan penyeragaman hukum untuk diberlakukan di negara Indonesia sebagai hukum nasional.
KODIFIKASI HUKUM
PPengertian Kodifikasi Hukum dan Bentuk Hukum
Hukum menurut bentuknya, Hukum dapat dibedakan antara:
1. Hukum Tertulis (Statute Law or Writen Law), yakni Hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-perundangan.
2. Hukum Tak Tertulis (Unstatutery Law or Unwritten Law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun, berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundang (disebut juga hukum kebiasaan).
Hukum yang dikodifikasikan ialah Hukum Tertulis, Kodifikasi Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara lengkap dan sistematis. Adapun tujuan daripada kodifikasi hukum adalah agar didapat sesuatu rechtseenheid (kesatuan hukum), penyederhanaan hukum dan sesuatu techts-zakerheid (kepastian hukum).
Kodifikasi hukum tersebut harus meliputi tiga unsur, yaitu:
1. Kodifikasi tersebut meliputi jenis-jenis hukum tertentu;
2. Kodifikasi tersebut memiliki sistematika;
3. Kodifikasi tersebut mengatur bidang hukum tertentu
Kodifikasi hukum ialah suatu langkah pengkitaban hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab undang-undang (codex=kitab undang-undang) yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah.
Kodifikasi nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code Napoleon; dinamakan Code Napoleon dikarenakan Napoleonlah yang memerintahkan dan mengundangkan undang-undang perancis sebagai Undang-undang Nasional permulaan abad XVIII setelah berakhirnya revolusi politik dan sosial di perancis.
Sebelum adanya undang-undang Nasional tersebut di perancis tidak ada kesatuan hukum dan kepastian hukum karena di negara perancis yang dipergunakan hukum kebiasaan (adat) dan berlaku untuk daerah masing-masing. Tiap-tiap daerah berbeda pula hukum adat sehingga penyelesaian perkara dan putusan pengadilan akan berbeda dan berlainan pula.
Hal-hal yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum adalah para ahli/penyaji ilmu hukum yang berbeda-beda. Sehingga hal inilah juga menjadi pendorong adanya kodifikasi hukum.
B. Perkembangan Kodifikasi Hukum di Indonesia
Sekarang kembali kepada masalah kodifikasi. Bagaimana perkembangan kodifikasi di perancis tersebut?
Dengan adanya code civil atau code napoleon timbullah anggapan bahwa:
1. Seluruh permasalahan hukum sudah tertampung dalam suatu undang-undang, undang–undang nasional.
2. Di luar undang-undang tidak ada hukum. Hukum sudah lengkap dan serta tidak mempunyai kekurangan.
3. Hakim hanya melaksanakan undang-undang yang berlaku di seluruh Negara.
Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme/wettelijk positivisme atau positivisme perundangan-undangan dengan pedoman : diluar undang-undang tidak ada hukum.
Pendukung dari pada aliran legismeini adalah ahli fikir Montesquieu dan J.J.Rousseau. Montesquieu dengan trias politiknya memusatkan pemerintahan dalam tiga kekuasaan, yaitu: Kekuasaan membuat Undang-undang (Legilatif), kekuasaan melaksanakan Undang-undang (Eksekutif), dan kekuasaan mengadili pelanggar Undang-undang (Yudikatif).
Dengan sistem sparation of power tersebut, Montesquieu berpendapat bahwa di luar undang-undang tidak ada hukum, Undang-undang yang dibuat oleh DPR dilaksanakan oleh Raja dan Hakim mengadili perkara pelanggaran undang-undang.kekuasaan yang membuat, melaksanakan, mengadili harus dipisahkan, karena apabila tidak dipisahkan akan terjadi kekuasaan Absolut, kekuasaan di tangan di satu tangan akan timbul kesewenang-wenangan dan lenyaplah kemerdekaan warga negara tersebut.
Dengan tidak adanya hukum yang diluar undang-undang satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang dan hakim merupakan mulut dari undang-undang yang dalam bahasa perancis disebut Les juges de la nation ne sont que la bouche que prononce les paroles de la loi.
Ajaran Montesquieu dan J.J.Rousseau tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap ketatanrgaraan dan konstitusi negara-negara lain. Banyak negara mengambil ajaran tersebut secara penuh atau sebagian meskipun ada yang menolak. Kemudian negara yang benar-benar mengikuti jejak Montesquieu dan J.J.Rousseau sepenuhnya adalah Amerika Serikat.
Kemudian salah satu negara yang mempergunakan code civil adalah Negeri Belanda. Pada saat itu Belanda dijajah oleh perancis ( 18811-1812). Meskipun perancis sudah meninggalkan belanda pada tahun 1812 belanda masih tetap memberlakukan Code Civil sampai negara itu mempunyai undang-undang sendiri yang berupa Burger lijk Wetboek (B.W) pada tahun 1835. B.W ini adalah kitab undang-undang hukum perdata belanda yang bersifat Nasional yang sebenarnya merupakan Code Napoleon.
Bagaimanakah perkembangan kodifikasi di Indonesia?
B.W. negara elanda tersebut dibawa ke Indonesia yang pada waktu itu dinamakan Hindia belanda sebagai jajahan Belanda dengan Stbl No.223/1847 tanggal 30 april 1947, B.W.tersebut dipublikasikan sebagai B.W. Hindia Belanda. Dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Mei 1948 bagi penduduk hindia belanda golongan eropa. Kemudian secara berturut-turut diperluas berlakunya B.W. tersebut ialah pada tahun 1917 dinyataka berlaku bagi penduduk golongan timur asing keturunan Cina, pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda golongan bumi putra dapat menundukkan diri pada B.W. Hindia Belanda tersebut.
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian yang berlaku mulai saat itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak ada undang-undang lainnya, sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama masa kekosongan hukum diadakanlah hukum peralihan yang berwujud Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :“Segala badan kenegaraan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru”.
Peraturan peralihan tersebut merupakan hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap berlaku sampai ada penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan digantikan selama mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada penggantinya antara lain adalah :
1. Undang-undang Pokok Agrarian ( UU No.5/1960)
2. Undang-undang Merek (UU No.21/1967) diganti dengan UU No.19/1992
3. Undang-undang Perkoperasian (UU No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992 Dan sebagainya.
Beberapa hukum yang telah di kodifikasikan di Indonesia, misalnya:
1. Hukum Pidana yang telah di kodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
2. Hukum Perdata yang telah di kodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
3. Hukum Dagang yang telah di kodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KHUD),
4. Hukum Acara Pidana yang telah di kodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP).
KeKemudian bagaimana perkembangan kodifikasi di Eropa Barat?
Kodifikasi hukum pertama di Eropa Barat adalah negara Perancis. Sebelumnya negara Perancis memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte yang intinya adalah hukum Germania disamping hukum Romawi. Code Civil yang disusun oleh Perancis, baru selesai tahun 1804 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil Perancis ini diberlakukan juga di negara Belanda, karena waktu itu negara Belanda berada dalam jajahan Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan Perancis barulah Code Civil ditiru oleh pemerintah Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code de Commerce Perancis pun dijadikan Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan asas konkordansi.
Di Negara Eropa Barat tersebutlah tercipatanya KUHPer, KUHD, dan KUHP sebagai uu.
Pendukung pandangan tersebut antara lain :
1. Dr. Frederich dari Jerman yang mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah hukum yang ada.
2. Dr. Van Swinderen dari Belanda yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu tentang hukum dan isinya cukup jelas.
Adapun tujuan dilakukan dilakukannya kodifikasi suatu hukum oleh pemerintah, yaitu:
a. Untuk menjamin kepastian hukum dimana hukum tersebut sungguh-sungguh telah tertulis di dalam suatu kitab ungang-undang.
b. Untuk memudahkan masyarakat untuk mempelajarinya dan memilikinya atau memperolehnya
c. Sedapat mungkin mengurangi / mencegah :
1. Kesimpangsiuran pengertian terhadap hukum yang bersangkutan,
2. Mencegah beragai kemungkinan penyelewengan dalam pelaksanaannya,
3. Keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum, mengingat dengan telah dikodifikasikannya suatu hukum, maka masyarakat menjadi mudah untuk mencari dan memperoleh serta mempelajarinya.
◦ Sejarah Pluralisme Sitem Hukum Indonesia
Pedoman politik pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia, dicantumkan dalam :
- Pasal 131 I.S. (Indische Staatregeling), yang menggantikan R.R. (Regerings Reglement) Pasal 75, yang pokok-pokoknya adalah :
◦ Sejarah Pluralisme Sitem Hukum Indonesia
- Perintah KODIFIKASI
Hukum Perdata dan Dagang begitu pula Hukum Pidana, Acara Perdata dan Acara Pidana harus dikodifikasikan atau diatur dalam Kitab Undang-Undang.
- Asas CONCORDANTIE (Konkordansi)
Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa harus dipersamakan / dikonkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda.
◦ Sejarah Pluralisme Sitem Hukum Indonesia
3. Mengenai Ordonansi yang mengatur Hukum Perdata dan Hukum Dagang :
– Bagi orang Eropa berlaku Hukum Eropa
– Bagi orang Timur Asing berlaku hukum negara nya
– Bagi Bumiputera berlaku Hukum Adat
– Bagi yang mau menundukan diri terhadap Hukum Eropa berlaku Hukum Eropa, Penundukan diri :
SeSejarah Pluralisme Sitem Hukum Indonesia
a. seluruh Hukum Eropa;
b. sebagian Hukum Eropa, misalnya hukum kekayaan saja;
c. perbuatan-perbuatan hukum tertentu;
d. secara diam-diam, jika pribumi melakukan perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukum adat.
◦ B. Pasal 163 I.S. (Indische Staatregeling)
Pembagian Golongan Penduduk menentukan:
1. Penghuni-Penghuni Indonesia dibedakan dalam golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing dengan hukum yang berbeda;
- Golongan Eropa terdiri dari :
a. Orang Belanda;
b. Orang Eropa kecuali Belanda;
c. org Jepang, Amerika & Australia.
d. Anak yg lahir sbg anak yg diakui sah oleh org tsb diatas & keturunannya.
◦ B. Pasal 163 I.S. (Indische Staatregeling)
3. Golongan Timur Asing :
Orang Asia yang lain seperti : Cina, Arab, India, dll serta keturunannya / yg diakui sah oleh mereka.
- Golongan Bumi Putra :
– Yang tunduk pada Hukum Adat.
– semua orang bumiputra, kecuali sudah masuk golongan lain.
– mereka yang masuk golongan hukum lain tapi sejak lama diterima sbg org bumiputra.
◦ Pengertian Pluralisme Hukum
Pluralisme sistem hukum adalah Berlakunya banyak sistem hukum bagi semua golongan dalam satu wilayah, khususnya di Indonesia yaitu secara bersamaan berlaku beberapa sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat.
REFERENSI
◦ Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari. 2015. Perkembangan Hukum Indonesia dalam Menciptakan Unifikasi dan Kodifikasi Hukum.
◦ R. Soeroso. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
◦ Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
◦ Halim, Ridwan, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Bogor :Ghalia Indonesia.
◦ Sudarsono, Kansil, Dalam Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Rineka Cipta,2004..
◦ Syahrani, Riduan, Memahami Ilmu Hukum, Bandung:PT.Alumni, 2009.