Beberapa minggu ini rasanya nggak berhenti-berhenti kita lihat di media statement pejabat yang ‘debatable’. Beberapa diantaranya bahkan laugh-able. Menanggapi kebocoran data SIM Card katanya masyarakat ceroboh karena nggak ganti password, menanggapi penyerangan sistem kita oleh hacker Bjorka yang disampaikan justru permohonan kepada Bjorka supaya tidak menyerang lagi (lhah mana bisaa wkwkwkk). Belum lagi kasus yang menyita perhatian sejuta umat. Saat menanggapi pertanyaan wartawan tentang kasus pembunuhan yang membelitnya pak FS menyatakan :”saya selaku ciptaan Tuhan..”. Kata selaku memang sudah sangat jarang digunakan, terutama dalam media karena dianggap sebagai pemborosan kata. Namun secara definisi kata “selaku” menurut KBBI merujuk pada kedudukan, jabatan sementara dan sejenisnya. Belum lagi cara menyampaikan ucapan bela sungkawa tapi pakai suara yang lantang seperti mau menyerang.. “gpp kali kan pejabat kepolisian memang terbiasa lantang suaranya”. JUstru ituu, kan pernah jadi pejabat tinggi, masak nggak ngerti? “mungkin karena grogi atau emosi?”. hmm bisa jadi sih..

Btw kalau tentang suara lantang dan teriak-teriak sih bukan hanya kali ini saja. Banyak nara sumber yang diundang tv yang saat diberi kesempatan mempertahankan argumen malah bikin yang menonton migren. Duh, diskusi yang awalnya menarik tiba-tiba jadi ajang teriak-teriak dan menghina. Mana nggak jarang menghinanya tentang hal pribadi yang maunya bikin lawan bicara malu. Padahal faktanya yang nonton malah yang malu. Apa dia lupa kalau sekarang ini setiap acara tv akan muncul di media sosial, sehingga jejak digital akan selalu ada.

“Sebenarnya, apa ya yang membuat mereka seperti itu? Kan mereka orang-orang yang pintar, punya jabatan bagus pula, masak ngomong baik-baik aja nggak bisa..”

Setiap saya mengisi kelas public speaking ada satu hal yang selalu ingatkan kepada peserta : “sepintar apapun kita, bila tidak bisa menyampaikan apa yang kita pikirkan dengan tepat, maka kepintaran kita tidak akan ada artinya”. Kata kuncinya: sampaikan dengan tepat, bukan hanya benar, bukan hanya baik.

Public speaking adalah seni menyampaikan suatu ‘ide’ kepada orang lain dengan pemilihan kata dan cara yang tepat. Karena itu dalam kelas public speaking biasanya peserta diminta untuk mempelajari berbagai aspek, mulai dari psikologi, komunikasi dan yang paling utama belajar berbahasa karena komunikator bertanggung jawab penuh atas sampainya pesan kepada komunikan.

Memilih kata yang tepat terlihat mudah tapi semakin tinggi ‘posisi’ kita maka semakin besar tanggung jawab kita dalam mengolah kata. Bagaimanapun kata cemoohan yang kasar dan merendahkan tidak layak untuk disampaikan di forum resmi, seperti seminar ataupun talk show televisi. Siapapun kita, terlebih kalau kita diundang karena mewakili institusi.

Tapi tivinya kok suka sih mengundang orang itu? Kan kalau ngomong chaos mulu?

Lhah, kalau dia bukan siapa-siapa, kalau posisi dan jabatan dia nggak nyambung sama topik juga nggak akan diundang kali 🙂

Pada 1906, Winston Churchill mengatakan “Where there is great power there is great responsibility”, di setiap kekuatan terdapat tanggung jawab (yang menyertai). Jadi setelah diberi kekuasaan maka orang tersebut harus bertanggung jawab untuk banyak hal, termasuk menyampaikan sesuatu supaya masyarakat tahu.

Di sisi lain dia juga bertanggung jawab untuk tetap menjaga adab, karena kita orang Indonesia yang menjujung nilai ke-timur-an. Memberi contoh yang baik jauh lebih baik. Arogansi seseorang akan tergambar pada caranya komunikasi. Egois dan egosentris juga bisa ‘terdeteksi’ bagaimanapun pembicara pintar menutupi.

Tidak jarang masyarakat ‘menjadikan’ pejabat yang tidak baik dalam berkomunikasi sebagai public enemy. Yang diingat adalah saat ybs bicara sering salah, kalau dalam talkshow selalu mendominasi diskusi dan menyerang lawan bicara dengan membabi buta. Padahal dalam satu dua sisi yang berbeda (menurut orang sekitar) pejabat itu adalah orang yang baik dan menyenangkan.

Menyalahkan masyarakat karena sudah melabeli mereka tidak sepenuhnya benar, karena masyarakat menilai berdasar apa yang yang terlihat saja.

Ini baru tentang ‘penampilan’ belum tentang materi yang disampaikan ya. Ada pejabat yang hobii banget menjawab semua pertanyaan, kadang-kadang sepertinya tanpa konfirmasi. Akhirnya setelah muncul di media berbagai tanggapan negatif berdatangan. Baru akhirnya direvisi.

Masa iya harus begini terus? Berubah dong, belajar dari pengalaman dong bosque..

Mulai latihan dari hal mudah yang esensial dalam komunikasi aja dulu: tau kapan harus bicara atau harus diam sementara.

 “with great power comes great responsibility”

-Uncle Ben

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)