Seperti janji saya di postingan sebelumnya (https://nyndafatmawati.com/pencemaran-nama-baik-menurut-uu-ite/ maka pada tulisan ini kita akan bahas tentang Surat Kesepakatan Bersama antara Kapolri, Jaksa Agung dan Menteri Kominfo tentang pedoman implementasi UU ITE, khususnya tentang pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3).

SKB telah memberikan aturan khusus tentang impementasi pasal pencemaran nama baik, yang bila dirangkum akan berbunyi:

  1. Pencemaran nama baik adalah delik menyerang kehormatan dengan menuduhkan satu hal supaya diketahui umum (pasal 310 KUHP) dan tuduhannya tersebut diketahui tidak benar oleh pelaku (pasal 311).
  2. Bila muatan atau konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan dan kata-kata tidak pantas maka yang digunakan adalah pasal 315 KUHP (walaupun tidak menjadi acuan dalam UU ITE)
  3. Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bila muatan atau kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan;

Poin ketiga saat ini menjadi senjata pengguna media sosial yang akan dilaporkan orang yang merasa diserang kehormatannya. Banyak yang menganggap bahwa poin ini merupakan ‘legitimasi’ untuk menulis atau berkomentar apapun atas nama pendapat, penilaian dan kenyataan. Dapat dimengerti (walaupun tidak dapat dimaklumi) mengapa anggapan itu banyak di masyarakat, karena sebelum ada SKB, pasal ini hanya ‘berhenti’ di menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan satu hal. Terlepas dari benar atau tidak tuduhan tersebut. Jadi, misalnya ada yang menuduh kita sebagai maling di media sosial, maka yang dituduh bisa melaporkan penuduh menggunakan pasal ini tanpa diwajibkan membuktikan tuduhan tersebut. Yang lebih ekstrem, kalaupun benar dia mencuri, penuduh tetap dapat dilaporkan kepada yang berwajib karena sudah menyerang kehormatan yang dituduhnya.

Karena itu, keluarnya SKB ini semacam angin surga untuk memberikan batasan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik yang menggunakan sarana internet. Mengapa batasan itu penting? Untuk menghindari potensi kriminalisasi dan untuk menghindarkan pasal ini dari ancaman ‘baperisasi’ (Baper-lapor polisi-baper-lapor polisi).

Dalam hukum pidana terdapat beberapa konsep tentang asas legalitas, diantaranya :

lex scripta, bahwa rumusan hukum harus tertulis ;

lex certa, bahwa rumusan delik yang diatur harus jelas ;

lex stricta, bahwa rumusan pidana yang diatur harus dimaknai tegas (tanpa analogi) ;

lex praevia, bahwa hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut ;

Asas legalitas sendiri mengandung arti bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dapat diberikan sanksi pidana tanpa ada aturan pidana sebelumnya.

SKB ini dapat dikatakan sebagai hukum karena dia memiliki sifat mengatur dan memaksa. SKB tidak bisa dilihat terpisah dari UU ITE, karena itu penjelasan rumusan delik dalam SKB harus memenuhi konsep-konsep dalam asas legalitas diatas.

Masalahnya, pengecualian untuk penilaian dalam pendapat (yang terdapat dalam SKB) sifatnya sangat subyektif. Setiap orang bisa saja memiliki pendapat dan penilaian yang berbeda terhadap satu hal. Bagaimana mengutarakan pendapat dan penilaian juga tergantung kerangka referensi yang dia miliki. Pengecualian untuk hal yang sifatnya subyektif hanya akan menjadi bom waktu di kemudian hari karena tidak memiliki batasan. Padahal SKB ini sebenarnya dikeluarkan untuk memberikan batasan kan? 🙂

Kemudian bagaimana kita menghentikan ‘blunderisasi’ ini?

Dalam hal penilaian atau pendapat yang disampaikan ejekan, cacian atau menggunakan kata-kata yang tidak pantas, SKB ini mengarahkan kita menggunakan pasal 315 KUHP: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Tapi ingat ya, hanya untuk penghinaan, cacian dan kata-kata yang tidak pantas, bukan untuk komentar pedas. Butuh ahli pasti dalam meyakinkan bahwa tulisan ini masuk pasal 315 atau tidak. Ohya satu lagi, yang dimaksud disini hanya menghina ya, bukan menuduhkan satu hal yang tidak benar.

Over all, kalau dilihat posisitifnya sih, SKB ini membuat UU ITE bukan lagi momok untuk pengguna internet. Pada akhirnya pemerintah menjamin hak berpendapat kita di ranah online, dan dengan SKB ini diharapkan kasus penilaian berdasarkan kenyataan seperti yang dialami Prita Mulyasari (https://nasional.kompas.com/read/2021/02/16/17092471/uu-ite-yang-memakan-korban-dari-prita-mulyasari-hingga-baiq-nuril?page=all) tidak terulang lagi.

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)