Beberapa waktu lalu saya ngobrol intens tentang masalah dalam hidup dengan seseorang. Dia mengatakan sedang menghadapi masalah sangat besar, harus siap kehilangan semua dan banyak kalimat putus asa lainnya.

5 bulan sebelumnya, dua sahabat saya harus kehilangan orang yang dicintainya, saya yakin dunianya runtuh saat itu, that was the biggest lost for her life. Tapi sejauh ini saya lihat mereka sudah bangkit dengan kadar yang berbeda. Salah satunya lebih cepat ‘menguasai keadaan’ daripada yang lainnya.

It’s okay not to be okay, im still proud of them anyway.. karena setiap orang memiliki daya ‘pantul’ yang berbeda ketika menghadapi masalah. Seperti bola, ada yang bila dihempaskan ke tanah akan memantul sempurna kembali ke arah yang sama. Ada juga yang tidak memiliki daya pantul sama sekali, contohnya bola sepak takraw. Ada yang malah tidak bisa kita kontrol kemana arah pantulnya, contoh: bole bekel 😀 Daya pantul tergantung pada kualitas, ukuran dan bahan bolanya, kadang-kadang juga dipengaruhi oleh tanah/lantai tempat pantulnya tapi daya pantul bola tidak tergantung pada orang yang melemparkannya ke bawah. Pantulan yang paling ideal menurut saya adalah yang berbanding lurus dengan daya hempasnya seperti bola basket karena kita masih bisa kontrol kemana arah pantulnya. Kalau kita analogikan bola sebagai manusia maka daya bangkit manusia dari kesedihan tergantung pada kualitas diri, kadang-kadang juga pada lingkungannya tapi bukan pada apa yang menyebabkannya jatuh.

Dalam dunia psikologi ‘daya membal’ ini dikenal sebagai Adversity Quotient (AQ). Adversity quotient digadang-gadang sebagai aspek lain (selain IQ dan EQ) yang akan mempengaruhi kesuksesan seseorang. AQ dianggap kemampuan yang harus ditanamkan ke anak-anak sejak dini.

Dalam penelitian Ni Wayan Serianti, Ni Ketut Suarni dan Ketut Gading yang berjudul Adversity Quotient Scale Development Of Vocational School Student Pengembangan Skala Adversity Qutient Peserta Didik Smk yang dimuat dalam Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia dijelaskan tentang pendapat beberapa ahli tentang definisi AQ : Menurut Stoltz (dalam Julita & Prabowo, 2018) Adversity Quotient adalah suatu kepiawaian yang dimiliki oleh individu agar mampu bertahan segala bentuk kejadian yang dapat menimbulkan kesulitan dalam kehidupan individu tersebut. Menurut (Nurlaeli, Noornia, & Wiraningsih, 2018) Adversity Quotient yaitu sebuah kemampuan individu dalam mempelajari persoalan dan mengolah persoalan tersebut dengan kemampuan yang dimilikinya yang dapat menjadi suatu tantangan dalam proses penyelesaiannya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan dan mengelola kesusahan/kesedihan menjadi tantangan. Tidak mudah memang, makanya orang yang memiliki AQ yang tinggi dipercaya akan lebih ‘mudah’ meraih kesuksesan karena dia mampu bertahan dan berpikir dengan jernih di segala kondisi.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara meningkatkan dan mengasah AQ?

Dilansir dari KajianPustaka, Paul G. Stoltz mengungkapkan beberapa cara untuk seseorang dalam meningkatkan kecerdasan Adversity Quotient: (https://qep.co.id/works/inilah-cara-meningkatkan-kecerdasan-aq-home/): 

  1. Listened (Mendengarkan), ketika mendengarkan tentang sebuah informasi jangan ditelan mentah-mentah. Kita harus biasakan untuk mengolah informasi menjadi referensi untuk bertindak nanti.
  2. Explored (Menggali), bagaimana seseorang menggali tentang kejadian yang ditemuinya. Ini tentang inisiatif seseorang untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab dan sumber masalah.
  3. Analyzed (Menganalisis), ini tentang bagaimana kita menganalisis tentang satu kejadian berdasar bukti-bukti yang ada. Kebiasaan menganalisa ini akan membuat kita fokus pada penyelesaian dan tidak ‘terjebak’ pada perasaan (saat mendapatkan masalah).
  4. Do (Melakukan), kalau yang saya tangkap, ini tentang ‘latihan’ untuk melakukan beberapa hal diatas agar kita dapat semakin mengasah AQ kita.

Menurut teori langkah diatas efektif untuk membuat seseorang meningkatkan kecerdasannya menghadapi masalah atau kesedihan yang hadir padanya.

Saya yang seorang overthinker langsung curiga AQ saya pasti jongkok wkwkwkk

Tapi saya punya satu quotes yang selalu saya ingat setiap saat saya mulai kumat overthinking-nya: “bayangan seringkali lebih besar dari obyeknya”.

Bayangan merupakan refleksi dari satu obyek, karena obyek berada di posisi yang dekat dengan sumber cahaya. Semakin dekat obyek dengan sumber cahaya maka semakin besar bayangannya. Semakin jauh obyek dari sumber cahaya semakin kecil bayangannya, semakin lemah sumber cahaya semakin samar bayangan yang dihasilkannya. Bayangan akan hilang bila tidak ada sumber cahaya, atau cahaya berhasil tertutup sempurna dengan obyeknya.

Jadi akan ada satu fase dimana bayangan akan lebih besar dari obyeknya.

Kita gambarkan obyek tersebut adalah kita, sumber cahaya adalah tujuan kita dan bayangan adalah pikiran-pikiran kita. Semakin kita dekat dengan tujuan maka akan semakin banyak pikiran, pertimbangan dan kecemasan yang kita rasakan.
Jadi kalau makin banyak muncul ‘ketakutan’ terhadap langkah kita maka itu merupakan sinyal bahwa kita sudah semakin dekat dengan tujuan. Jangan berhenti karena kita akan sampai tujuan sedikit lagi..

-ND

Menjelang hari H biasanya makin tegang kan? Padahal beberapa bulan sebelumnya semuanya ‘baik-baik’ saja. Tapi kalau sudah hari H maka ketegangan akan berangsur terurai, karena nggak peduli sebagus apapun persiapannya, pasrah.. because shit can happen anytime.. hehe bukan ding, karena pada saat hari H, posisi “obyek’ pas di depan ‘sumber cahaya’, jadi bayangan hilang dengan sendirinya.

Trus bagaimana cara menghilangkan bayangan?

Selama masih ada obyek dan sumber cahaya maka kemungkinan munculnya bayangan adalah hal yang normal. Kalau mau dihilangkan ya pilih: hilangkan cahayanya atau hilangkan obyeknya. Rugi kan?

Selama masih proporsional bayangan tetap kita butuhkan. Bayangan-bayangan ini yang membuat kita siapkan plan A, B, C dst. Yang nggak normal itu kalau bayangan yang muncul membuat kita takut melangkah, memiliki kecemasan yang berlebihan, dan lainnya.

Trus gimana caranya supaya bayangan itu tidak menakutkan kita?

Jangan dilihat. Balik badan, fokus ke sumber cahaya saja dan terus melangkah. Biarkan bayangan ada di belakang kita. Selama ada di belakang maka dia tidak akan mempengaruhi kita.

Atau sekalian aja lari mendekat sumber cahaya sampai badan kita bisa ‘menutupi’ sumber cahaya itu, artinya fokus saja pada tujuan, jangan biarkan kita berjarak dengan tujuan (sumber cahaya) kita.

As simple as that..

APakah cara ini efektif?

Untuk saya iya. Menanamkan ini sebagai sugesti membuat saya ‘berani’ menghadapi kenyataan dan akhirnya dapat mengurangi kecemasan. Buat saya ini penting, karena bagaimanapun kita harus tetap melangkah, apapun yang terjadi dalam perjalanannya..

Semoga ini juga bisa membantu kalian yang memang punya masalah dengan percaya diri, overthinking atau perfectionist. Memang dalam setiap hal selalu ada kemungkinan tidak berjalan sesuai rencana, tapi jangan beri porsi lebih untuk ketakutan yang sebenarnya kita ciptakan sendiri.

Pokoknya setiap saat merasa takut menghadapi situasi, ingat ya, jangan tertipu dengan bayangan (kekhawatiran/ketakutan). Terus saja melangkah sampai kita bisa raih sumber cahayanya. Kalau belum bisa, jangan hilangkan pikiran atau bayangan, arahkan saja mereka untuk mendukung kita mendekat ke tujuan.

Selamat mencoba,.. 🙂

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)