Setiap akhir bulan saya sering menghitung pengeluaran, dan sejauh ini pengeluaran yang agak besar di makan ya, lebih tepatnya jajan, lebih tepatnya lagi gofood atau grabfood. Karena saya suka jajan, memilih dan menikmati jajan sambil mengerjakan tugas di rumah bersama anak-anak itu semacam healing buat kami. Gimana nggak, kegiatan dan jajanan bisa berjalan beriringan, bisa pilih sendiri pula menunya 🙂 Anak-anak sering merayu saya untuk dibolehkan jajan hampir setiap hari. Tapi sebagaimana kesepakatan kita batasi hanya 3-4 hari sekali.

Sampai akhirnya kemarin saat kami serumah sakit, saya tidak ada tenaga untuk memasak dan menyiapkan makanan sehingga saya bilang ke anak-anak bahwa kita pesan gofood dulu sementara. Dalam sehari kami pesan makanan hingga dua kali. Saya biarkan anak-anak pesan, yang penting mau makan karena kalau sedang tidak fit yang paling utama adalah perut harus terisi.

Hari pertama dan kedua mencoba menu baru masih aman. Anak-anak mau makan. Hari ketiga keempat mereka mulai demanding, memilih sendiri apa yang mereka ingin makan saat itu. Hari kelima, keenam, ke tujuh anak-anak benar-benar tidak tertarik dengan menu yang ada di aplikasi. Seenak apapun gambarnya. Padahal menunya beda dengan yang sebelumnya dan saya pesankan makanan yang biasanya mereka minta tapi jarang saya bolehkan. Tapi sepertinya mereka sudah jenuh, bosan pesan makan di aplikasi mulu. Padahal selama ini mereka yang sering merayu supaya dibolehkan pesan ini itu. Begitu diminta pesan setiap hari eh mereka yang bosen sendiri 🙂

Mungkin hidup juga begitu ya. Berapa banyak yang kita lihat di sekitar, orang-orang yang tidak menjalankan pekerjaannya dengan maksimal setelah sebelumnya dia sangat berharap mendapatkan pekerjaan itu. Sebenarnya bukan tidak bersyukur, bisa jadi dia hanya sedang jenuh, bosan dengan apa yang dikerjakannya setiap hari. Konon setiap orang punya titik jenuhnya sendiri. Tapi haruskah titik jenuh itu menjadi titik (akhir)?

Saya jadi ingat, saat mengantar adek sekolah, kami melewati penjagaan sebuah kompleks perumahan. Demi keamanan dan mencegah penyebaran covid sejak beberapa tahun lalu, pintu yang dibuka untuk kendaraan hanya pintu gerbang sebelah kanan, dan beberapa satpamnya duduk di pintu sisi kiri. Sebagaimana satpam kompleks yang saya tahu sepertinya tugas mereka juga memperhatikan dan menyapa orang dan kendaraan yang keluar masuk melalui gerbang tersebut. Awal-awal lewat situ, satpam selalu melihat mobil dan meminta kaca mobil dibuka. Namun, akhir-akhir ini (setelah lama nggak lewat situ lagi) hampir setiap kali saya lihat satpam-satpamnya ngobrol, main hp, ngisi buku TTS dan lainnya. Mereka baru menjawab hanya bila saya menyapa mereka lebih dahulu, itupun kadang tanpa melihat siapa yang menyapa.

Bukankah duduk dan menyapa dengan melambaikan tangan adalah pekerjaan yang relatif mudah? Tidak perlu kepanasan, kehujanan karena diatas bangku yang disediakan ada semacam terop dan pohon-pohon yang rimbun diatasnya. Kenapa mereka tidak antusias melakukan tugasnya seperti dulu?

Bisa jadi mereka sedang Jenuh. Bosan mengerjakan hal yang sama setiap hari. Atau mungkin mereka sudah lelah, lelah menjalani hari yang menjemukan :’)

Konon katanya setiap hal punya titik jenuhnya. Titik kan tanda baca yang ada di akhir kalimat ya. Jadi apa artinya setiap jenuh datang artinya kita harus akhiri hal yang membuat jenuh tersebut?

Masalahnya seringkali jenuh nggak jalan sendiri. Jenuh itu sering berada sejajar dengan kebutuhan yang harus dipenuhi, tabungan yang harus diisi, rasa nggak enakan dengan teman atau atasan dan banyak lagi lainnya. Kebayang nggak kalau jenuhnya jalan di depan sendiri?

Orang yang kita kenal (atau justru kita sendiri) pasti pernah merasa menyesal karena salah keputusan gara-gara jenuh: keluar dari pekerjaan, mengakhiri hubungan atau lainnya.

Ketika memutuskan secara impulsif untuk berhenti dan melepaskan karena jenuh, baru disadari ternyata pekerjaan yang ‘membosankan’ itu gajinya lumayan, pasangan yang ‘membosankan’ itu memiliki lebih banyak kelebihan yang kita butuhkan dan seribu fakta lainnya. Dan baru kita ingat bahwa selama ini sebenarnya semuanya baik-baik saja sampai saat kita merasa jenuh beberapa saat belakangan.

Seandainya kita paham bahwa kejenuhan ‘hanya’ bagian dari perasaan, maka kita akan sadar bahwa jenuhpun memiliki batasnya. Batas masa dan batas rasa. Ada saatnya jenuh itu hilang kok, jenuh juga kalau diikuti dia akan ada ‘mentoknya’. Jadi jangan perlakukan ‘dia’ seolah ada selamanya, jangan biarkan jenuh membuat kita meninggalkan logika.

Penyesalan karena ‘tertipu’ rasa jenuh itu lebih menyakitkan daripada yang harus melepaskan sesuatu karena keadaan. Jadi hati-hati memperlakukan rasa jenuhmu. Jangan biarkan dia menghancurkan semua rencanamu. Kecuali kalau kamu adalah pemburu kenyamanan. Kerja dimanapun, berpasangan dengan siapapun harus nyaman, sekalinya bosan dijadikan alarm untuk mencari kenyamanan lainnya. Tapi kalau mau begini, pastikan saldomu sudah penuh terisi 🙂

Yang perlu diingat, kebutuhan memang tidak selalu sejalan dengan kenyamanan. Toh, sebelum kejenuhan datang kita pernah berterima kasih pada yang kita miliki ini karena sudah jadi sarana kita memenuhi kebutuhan dan harapan kan?. Terus kenapa jenuh setitik bisa membuat kita melupakan kebaikannya?

Titik jenuh tidak harus jadi titik ya, bisa kok kita jadikan dia koma dengan menganggapnya sebagai tahapan rasa yang harus dijalani saja.. 🙂

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)