
Semakin banyak cerita yang menyedihkan di media sosial. Ada cerita tentang ibu Amy, seorang Ibu WNA Korea yang menikah dengan WNA Singapura yang tinggal di Indonesia dan memohon keadilan karena telah dipisahkan dari anak-anaknya. Terutama bayi yang masih berusia 7 tahun. Yang ‘menggemaskan’ ternyata ada wanita lain seorang WNI ditengah perseteruan mereka. Seorang penyanyi dangdut (katanya) berinisial TE. Siapapun pasti trenyuh mengikuti cerita ibu Amy ini. Terutama karena mereka sudah menikah selama belasan tahun dan selama ini baik-baik saja.
Selain tentang ibu Amy, ada juga cerita tentang sekeluarga yang terdiri dari bapak ibu dan 2 anak bunuh diri bersama-sama di sebuah apartemen di Jakarta. Rekaman cctv terakhir mereka yang tersebar ketika masuk apartemen dan menyiapkan semuanya di lift sangat menyayat hati. Si bapak yang sempat mencium kening satu persatu dan posisi terjun dengan tangan diikat satu sama lain mematahkan hati saya. Apa yang dipikirkan mereka sebelum terjun? Apa yang membuat mereka mengakhiri hidup secara tragis seperti ini? :”( Mau nangis rasanya membayangkan kekalutan mereka sebelum memutuskan bunuh diri satu2nya solusi.
Yang terbaru ada cerita tentang Kurnia Mega mantan kiper timnas yang nasibnya mengenaskan dan ternyata cerita sedihnya menjadi plot twist berdasarkan cerita mantan istrinya. Ternyata selama pernikahan mereka Kurnia Mega pernah melakukan KDRT dan perselingkuhan. Selama beberapa tahun mereka bersama, istri dan anaknya merasakan dan menyaksikan perlakuan kasar suami dan ayah mereka. Dan itu membuat luka yang seringkali susah sembuhnya.
Sebenarnya ada satu benang merah dari ketiga cerita diatas: semuanya tentang perasaan, emosi, mengambil tindakan yang (secara nilai dan norma sosial) salah, menyakiti satu sama lain karena emosi: memutuskan sesuatu (yang fatal) secara emosional. Dari sekian banyak laman berita di media sosial komentar-komentar netizen juga beragam. Ada yang ikut simpati, menyayangkan bahkan ada yang curhat minta didoakan karena juga sedang tidak baik-baik saja seperti para ‘aktor’ dalam cerita diatas. Yang menakutkan ada juga yang bilang sudah mulai timbul pikiran untuk mengakhiri hidup saja. Duh, kenapa sih dengan kita akhir-akhir ini? Rasanya susaah sekali mengendalikan emosi, sesusah menggunakan logika.. 🙁
Dalam teori psikologi emosi dasar,ada teori namanya cognitive appraisal yang dipelopori oleh Richard Lazarus. Menurut teori ini proses berpikir harus terjadi sebelum mengalami emosi. Pada awalnya seseorang akan menangkap rangsangan atau stimulus dari luar. Setelah itu, ada proses berpikir yang kemudian secara bersamaan akan memantik respon fisiologis dan emosi.
Namun ada pandangan lainnya yang menemukan bahwa emosi justru muncul lebih dulu sebelum penilaian. Penilaian secara kognitif terjadi setelah seseorang merasakan emosi (setelah perubahan fisiologis dan perilaku). Misalnya, saat mendengar suara ledakan, kita mungkin akan merasa takut sebelum kita mencerna apa saja yang bisa terjadi setelah suara ledakan tersebut dan harus melakukan apa untuk menghindarinya.
Berdasar dua teori diatas, emosi dan proses kognisi selalu berdampingan. Hanya tentang yang mana duluan dan dominan. Terhadap satu masalah yang sama cara kita mengatasinya seringkali berbeda. Hal ini dipengaruhi dengan berbagai faktor, baik internal atau eksternal. Baik pengalaman pribadi atau berdasar referensi. Mungkin itu alasannya kenapa orang dengan banyak pengalaman hidup dan banyak ‘membaca’ seringkali lebih tenang dalam menghadapi satu masalah. Membaca yang dimaksud bukan hanya tentang text book namun termasuk mengambil pelajaran dari semua yang dapat ditangkap dengan indera. Nantinya setelah emosi dan kognisi berproses maka akan direfleksikan dengan perilaku.
Terdapat perbedaan antara merasakan dan memahami, dalam kaitannya dengan emosi. Orang yang hanya merasakan cenderung lebih impulsif. Dirinya hanya fokus pada prilaku untuk menyelamatkan diri dan perasaan berdasarkan pengalamannya. Orang seperti ini biasanya punya luka yang belum sembuh di hatinya. Traumanya besar, mungkin saja karena selama ini dia sudah berusaha keras untuk bertahan dan membela diri. Karena itu dia akan extra hati-hati.
Sebaliknya, orang yang sudah dapat memahami emosi maka dia akan berusaha untuk mengendalikannya sebelum memberikan respon yang dianggapnya tepat. Apakah orang seperti ini tidak merasakan emosi? Tentu iya, tapi dia ‘sempatkan’ untuk mengenali, memahami dan menilai respon mana yang tepat atas stimulus yang dihadapi. Menurut Salovey dan Mayer ini merupakan kecerdasan emosional.
Sebagaimana kecerdasan lain terdapat 2 cara untuk memilikinya: karena faktor keturunan ataupun dengan latihan. Menurut saya kecerdasan emosi pun demikian. Bedanya faktor keturunan untuk kecerdasan emosi lebih dominan tentang bagaimana seseorang mendapatkan pola asuh dari orang tua dan lingkungan terdekatnya. Makanya saya setuju hukuman tambahan harus diberikan pada orangtua yang ‘melukai’ anaknya, orang-orang dewasa yang sudah merusak masa depan anak yang ada di lingkungannya. Mereka seperti bukan manusia.
Kecerdasan pikir tentu berbeda dengan kecerdasan emosi. Itu sebabnya ada orang yang sangat pintar tapi mudah sekali tersulut emosi. Demikian juga sebaliknya. Yang harus dipahami, kecerdasan ini tidak mutlak, akan naik turun menyesuaikan situasi dan kondsi yang dihadapi, Ada orang yang EQ nya tinggi tiba-tiba tersulut emosi, dan pasti ada juga saat dimana orang dengan kecerdasan intelektual yang tinggi melakukan perbuatan ‘bodoh’ karena emosi.
Ada kalanya emosi berbanding terbalik dengan logika. Semakin emosi diikuti semakin susah kita berpikir jernih. Menjaga keseimbangan keduanya yang menjadi tugas kita saat ini dalam menghadapi banyaknya godaan dunia #halah :D.
Semoga kita bisa tetap bertahan dengan keseimbangan antara emosi dan logika ditengah gempuran godaan untuk berpikir pendek saja.
“Tetap bertahan, apapun dan sebesar apapun masalah yang dihadapi ya.. Kita punya Tuhan yang selalu memberi pertolongan berupa waktu yang terus berjalan. Waktu akan membantu kita menguraikan benang kusut satu persatu. Bukankah cara termudah untuk menjernihkan air yang keruh adalah dengan membiarkannya tenang agar kotoran yang membuat keruh turun dan mengendap di dasar?” -ND