
Akhir-akhir banyak berita bocah terluka dan meninggal karena perundungan atau kekerasan. Yang terbaru membuat miris adalah bocah yang dipaksa berhubungan dengan kucing dan videonya digunakan untuk melakukan perundungan oleh teman-temannya. Sedih banget membayangkan apa yang dialami anak itu sampai akhirnya meninggal karena depresi. Kasihan kamu nak.. 🙁
Dalam sebuah berita, orang tua anak itu mengatakan bahwa korban ini mainnya terlalu jauh, dia beralasan anaknya banyak sehingga nggak mungkin mengawasi mereka satu per satu.. *speechless*

Mungkin ini yang jadi alasan pemerintah mencanangkan keluarga berecana sejak jaman dulu: dua anak cukup. Karena dengan dua anak, orangtuanya akan bisa fokus menjaga anak-anak. Selain karena alasan ekonomi. Punya anak banyak nggak salah, selama bisa mencukupi dan bertanggung jawab kepada mereka.
Anak, seperti orang dewasa, butuh kebahagiaan. Kalau tidak didapatkan di rumah maka anak akan mencari kebahagiaan dimana saja, mereka akan mencari kebahagiaan versi mereka. Bedanya, pada anak-anak mental dan psikologisnya belum sematang kita, konsep baik-buruk, benar-salah masih harus dikembangkan. Itu sebabnya hukum melindungi mereka, sekalipun mereka melakukan tindak pidana.
Sejak tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menyepakati tentang hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak (Convention on The Right of The Child). Pasal 1 konvensi ini menyebutkan bahwa anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum suatu negara. Semua anak memiliki semua hak yang disebutkan di dalam Konvensi ini. Pasal 19 juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian (www.unicef.org).
Orangtua bertanggung jawab untuk mengasuh dan melindungi anak. Itu harga mati menurut konvensi ini. Kalau orangtua tidak bisa melakukannya maka pemerintah yang harus menggantikan mereka. Menurut konvensi ini Pemerintah perlu membantu dengan menyediakan layanan untuk mendukung orangtua dan wali, khususnya jika mereka bekerja (pasal 18). Apakah banyaknya kekerasan anak akhir-akhir ini menunjukkan ada yang nggak tepat dalam pelaksanaan konvensi?.
Undang Undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah mengatur bahwa negara, pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak (pasal 20). Dari pasal ini jelas bahwa perlindungan anak juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Oleh karena itu kalau orang tua tidak dapat memenuhi hak anaknya maka masyarakat harus turun tangan untuk membantu mereka.
Tidak jarang terjadi anak justru jadi korban kekerasan domestik, disiksa orangtua dan keluarganya, orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Yang disesalkan tetangga tidak berani melaporkan karena takut dianggap ikut campur urusan keluarga orang lain. Merujuk pada undang-undang perlindungan anak Pasal 45B (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak.
(2) Dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat,dan Orang Tua harus melakukan aktivitas yang melindungi Anak. Pasal 72 juga mengatur bahwa peran Masyarakat dalam penyelenggaran Perlindungan Anak dilakukan salah satunya dengan cara melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak, termasuk melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.Pasal 76B mengatur bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. Membiarkan saja merupakan pelanggaran. Bahkan untuk melakukan pembiaran ini terdapat sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal 77B bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal-pasal diatas memberi hak dan kewajiban kita untuk tidak abai dengan kondisi anak-anak di sekitar kita. Jadi pasal-pasal ini menjadi dasar hukum kita bisa ‘intervensi’ bila mendapati anak yang dilanggar haknya,walaupun di dalam dalam keluarganya. Merupakan tugas pemerintah untuk melindungi pelapor dan orang yang mencoba ‘menyelamatkan’ anak tersebut.
Pertanyaan berikutnya, kalau memang perangkat aturan tentang perlindungan anak sudah sangat detil dan bagus, mengapa masih banyak terjadi kekerasan anak?
Banyak aspek yang mempengaruhi penegakan hukum. Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto dalam buku Efektifitas Penegakan atau Penerapan Hukum (2021) menyatakan bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 faktor, yaitu (https://eprints.umm.ac.id/37848/3/jiptummpp-gdl-bimoaldhys-48543-3-babii.pdf) :
- Faktor aturannya sendiri (undang-undang).
- Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
- Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
Berdasar teori diatas sejauh ini poin 4 dan 5 yang dapat kita (sebagai masyarakat) kendalikan. Sosialisasi terhadap undang-undang terutama pasal ini seharusnya menjangkau sampai akar rumput karena walaupun tidak semua namun sejauh yang ada di berita kekerasan terhadap anak seringkali terjadi pada keluarga yang ada di strata menengah dan bawah.
Harus ditanamkan dalam mindset kita semua: Lebih baik dimusuhi keluarga korban daripada melakukan pelanggaran pidana karena dianggap melakukan ‘pembiaran’ .
Kalau memang orangtuanya gagal melindungi maka pemerintah dan masyarakat yang wajib menjadi ‘wali’. Anak harus dihindarkan dari trauma yang akan berpengaruh di masa depannya. Anak yang menjadi korban kekerasan juga harus dijaga supaya tidak melakukan hal sama kepada peer group- nya.
Anak-anak kita adalah generasi penerus bangsa, bukan hanya penerus kita orangtuanya. Bagaimana Indonesia di depan tergantung bagaimana anak kita tumbuh dan berkembang dari sekarang.
Analoginya seperti ini: kalau ada luka, cepat obati. Karena luka itu akan mempengaruhi kulit sekitarnya. Bayangkan kalau luka dibiarkan terbuka dan tidak dirawat, maka bakteri, lalat, dan binatang lain akan membuatnya lebih parah dan lebih luas lagi.
Seperti itu harusnya kita melihat anak Indonesia. Anak-anak kita adalah ‘anak negara’. Negara butuh mereka untuk tetap maju dan bersinar di masa depan. Jangan biarkan mereka menjadi luka. Kalau anak-anak tidak bisa mengobati lukanya sendiri maka orang tua dan orang yang lebih dewasa yang harus menangani.
Penindakan kekerasan anak (sebagai pelaku atau korban) tidak akan efektif untuk mencegah kekerasan anak agar tidak terjadi lagi karena (baik sebagai korban atau pelaku) selamanya anak yang akan selalu menjadi korban karena keterbatasan fisik dan mental mereka. Menunggu’ kejadian’ untuk bisa dilakukan penindakan adalah kelemahan yang ada dalam benak kita selama ini
Ada baiknya kita (pemerintah, masyarakat dan stake holder lainnya) bersama-sama duduk, membahas dan mensosialisasikan tentang mitigasi bila terjadi kekerasan anak di sekitar kita. Dalam KBBI mitigasi adalah tindakan untuk mengurangi dampak (bencana). Melokalisir kerusakan atas kekerasan (anak) merupakan fokus kita seharusnya.
Mitigasi ini harus disepakati dan dilakukan sosialisasi agar kelemahan kita tidak menjadi kegagalan bangsa ini di kemudian hari.
Mitigasi ini harus disepakati dan dilakukan sosialisasi agar kelemahan kita tidak menjadi kegagalan bangsa ini di kemudian hari.