Beredar video seorang ibu di Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), menangis meminta keadilan usai hakim memvonis bebas pelaku pencabulan terhadap anaknya (kini sang anak berusia 10 tahun). Pelaku adalah ayah kandung korban. Sidang perkara itu berlangsung di PN Lubuk Basung. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut pelaku 15 tahun penjara dengan denda Rp 5 miliar. Namun pada sidang pembacaan putusan 26 Juli 2023, pelaku divonis bebas.

Kasus ini terungkap berdasarkan laporan dari ibu korban RH ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumbar 28 April 2022 lalu. Pada tahap penyidikan, pelaku Pelaku tidak ditahan. Namun usai pelimpahan tersangka dan barang bukti dari kepolisian ke kejaksaan 21 Februari 2023, Kejari Agam menahan Pelaku.

Dalam surat dakwaan JPU, terdakwa  mencabuli korban A yang merupakan anak kandungnya sendiri secara berulang selama dua tahun, dari 2020 hingga 2022.

Perbuatan bejat itu dilakukan Terdakwa di rumahnya. Terdakwa membujuk korban dengan menjanjikan untuk membelikan sepeda dan skuter.
Namun, jika korban menolak, korban dengan mengatakan akan membunuh ibu korban RH yang merupakan mantan istri terdakwa.

https://jakarta.tribunnews.com/2023/08/15/suami-perkosa-anak-kandung-tapi-divonis-bebas-ibu-korban-nangis-tak-percaya-lagi-hukum-negeri-ini

Menurut info yang beredar keluarga pelaku merupakan orang terpandang di Lubuk Basung, Kabupaten Agam. Orang tua pelaku juga dekat dengan jajaran Pemerintah setempat. RH sendiri bekerja di Pemerintah Kabupaten Agam. Atas pelaporan tersebut, RH mendapat tekanan dari Pemerintah Kabupaten Agam.

Di saat yang berdekatan kita juga dibuat tercengang dengan putusan kasasi kasus Sambo. Karena perbedaan antara putusan awal dan akhir yang relatif (atau sangat?) jauuuh..

Dari pidana mati, Ferdi Sambo mendapatkan ‘revisi’ hukuman menjadi seumur hidup, Ricky Rizal dari 13 tahun menjadi 8 tahun, Kuat Ma’ruf dari 15 tahun menjadi 10 tahun dan Putri Candrawati dari 20 tahun berkurang menjadi 10 tahun.

Banyak yang bereaksi hanya dari dua putusan yang kita bahas diatas.

Yuk kita bahas tentang Putusan Hakim..

Pada dasarnya, dasar banget ni, semua orang sama di mata hukum sebagaimana asas Equility before the law.. Jadi mau pelaku kejahatan adalah anaknya, cucunya, cicitnya atau tetangga dekat dari orang terpandang tetap saja tidak boleh mendapatkan keistimewaan atau perlakuan yang berbeda dari yang lain. Pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara diatur dalam UU no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 53 “(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. (2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.” Pasal tersebut mengatur bahwa putusan hakim harus didasarkan pada berbagai pertimbangan yang dapat diterima semua pihak dan tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang ada, yang disebut dengan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum harus lengkap berisi :

  1. fakta peristiwa
  2. fakta hukum
  3. perumusan fakta hukum penerapan norma hukum baik
    dalam hukum positif
  4. hukum kebiasaan
  5. yurisprudensi serta teori-teori hukum dan lain-lain,

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Hakim dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan dapat mempertimbangkan beberapa aspek:
a. Kesalahan pelaku tindak pidana;
b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana;
c. Cara melakukan tindak pidana;
d. Sikap batin pelaku tindak pidana;
e. Riwayat hidup dan sosial ekonomi;
f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku;
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Hakim dalam memutus suatu perkara juga harus mempertimbangkan :

1.kebenaran yuridis artinya landasan hukum yang dipakai apakah telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

2.kebenaran filosofis, artinya hakim harus mempertimbangkan sisi keadilan apakah hakim telah berbuat dan bertindak yang seadil-adilnya dalam memutuskan suatu perkara

3.kebenaran sosiologis, artinya bahwa seorang hakim harus membuat keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan dampak hukum dan dampak yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam hal putusan kasasi, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 253:
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Pasal 266
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam
hal itu berlaku ketentuan Pasal 255. Artinya dalam putusan sebelumnya bisa saja melanggar salah satu dari 3 kriteria diatas sehingga putusan kasasinya ‘memperbaiki’ putusan sebelumnya.

Menurut informasi, dalam memutus perkara Ferdy Sambo ada 2 anggota majelis kasasi menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion yang bernama hakim agung Jupriyadi dan Desnayeti. Kedua hakim agung itu tetap pada pandangannya sebagaimana putusan tingkat pertama dan banding. Banyak komentar masyarakat dan tokoh di media yang menyayangkan putusan-putusan ini. Dikhawatirkan masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum negeri ini. Hal ini sejalan dengan pertanyaan yang beredar beberapa waktu terakhir “masihkah relevan adagium yang menyatakan Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi”? https://badilag.mahkamahagung.go.id/suara-pembaca-badilag/suara-pembaca/hakim-masih-wakil-tuhan-oleh-ahmad-z-anam-29-7 Belum lagi berita tentang oknum hakim hingga hakim agung yang tertangkap karena terlibat korupsi dan gratifikasi. Masa iya wakil Tuhan justru melakukan apa yang dilarang Tuhan..

Ini menjadi dilema, karena kita negara hukum maka penegakan hukum yang adil menjadi tujuan utama kita. Di satu sisi para oknum yang harusnya menjaga malah mencederai kepercayaan masyarakat merusak tatanan dalam masyarakat (pernah saya bahas di https://nyndafatmawati.com/tidak-ada-kejahatan-yang-sempurna/ ). Mungkin ini saatnya berbenah. Konon yang paling bijaksana adalah orang yang belajar dari kesalahannya. Tentu oknum ini tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab lembaga. Demikian juga kita sebagai masyarakat. Mungkin kita juga punya ‘oknum’, yaitu bagian dari kita yang harusnya tunduk pada proses persidangan tapi justru melakukan beberapa cara demi kebebasan atau kemenangan atas kasusnya. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan yang terbaik yang kita bisa. Setidaknya, saling mengingatkan, seperti yang saya lakukan melalui tulisan ini.. Fiat justitia ruat caelum, artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Walaupun selalu ada pertanyaan: masihkan berlaku saat ini? :’)

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)