
Indonesia Darurat Perlindungan Korban KDRT.. 🙁
Mendadak lemes, sedih, kecewa begitu baca berita : 4 orang anak dibunuh bapaknya setelah ibunya dirawat di rumah sakit karena KDRT. Jadi saat anak-anak meninggal Ibu mereka juga sedang berjuang karena telah dilukai ayah mereka. Pelakunya satu korbannya banyak. Yang sangaat membuat miris, ternyata ibunya sudah punya firasat tidak enak sehingga minta bantuan saudaranya untuk menyelamatkan anak-anak selama dia dirawat. Dan saudaranya ini sudah membuat laporan KDRT ke polisi, lapor RT dan konon pihak yang berwajib sudah datang dan membawa korban ke RS, sayangnya tidak mengevakuasi anak-anaknya 🙁 https://news.detik.com/berita/d-7076521/ibu-4-anak-yang-tewas-di-jaksel-pernah-muntah-darah-karena-kdrt/2
Sebelum ini, berita tentang seorang istri meninggal di tangan suaminya di depan anak mereka juga beredar di media sosial. Lagi-lagi, dikatakan bahwa si istri ini sudah membuat laporan namun belum ada tindakan keburu dihabisi pelaku. https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6924838/tragis-istri-dibunuh-suami-di-depan-anaknya-lalu-jenazah-dimandikan-pelaku
Sebelumnya juga ada berita mertua dibunuh menantu yang merupakan WNA di rumahnya karena mencari istrinya yang kabur karena KDRT tidak ditemukan sehingga menantu ini emosi dan menyerang mertuanya. Mirisnya, ternyata ibu dari istri WNA ini sudah pernah lapor, tapi dinyatakan belum cukup bukti .https://www.kompas.tv/regional/446678/polisi-ungkap-deretan-fakta-wna-yang-bunuh-mertua-di-banjar-cari-isteri-hingga-bahasa-isyarat?page=all
Ada beberapa persamaan dari 3 cerita KDRT yang ramai diberitakan saat ini:
1. Ada korban meninggal
2. Pelaku adalah keluarga
3. Perbuatan yang berulang dan memuncak
4. Sudah pernah melapor ke pihak berwajib.
Poin satu sampai tiga kaitannya kekerasan, poin 4 berkaitan dengan kelalaian, kesalahan atau kelemahan (kita). Betapa tidak, laporan sudah disampaikan, artinya yang melapor adalah pihak korban, mereka adalah korban kekerasan. Mereka sudah ‘dibebani’ visum supaya laporannya dapat diproses, namun masih juga tidak ‘diselamatkan’.
Melaporkan KDRT tidak sama dengan melaporkan kehilangan, ada resiko besar, baik saat hendak melaporkan maupun setelah membuat laporan. Korban akan lebih terancam seandainya pelaku tahu dirinya sedang dilaporkan.
Undang-Undang 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pasal 51 dan 52 menyatakan kekerasan fisik dan psikis merupakan delik aduan. Artinya korban harus membuat laporan supaya dapat dilakukan tindakan. Artinya para korban diatas sudah melakukan kewajibannya, bagaimana dengan kewajiban yang menerima laporan?
Pasal 10 UU PKDRT mengatur bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Artinya penyusun undang-undang tahu dan dapat memahami bahwa korban KDRT pasti membutuhkan perlindungan. Artinya, antara membuat laporan dan mendapatkan perlindungan harus sejalan dan segera.
KDRT biasanya tidak terjadi sekali. Yang dilaporkan biasanya yang merupakan puncaknya. Artinya korban tidak lagi tahan atau korban tahu kali ini mengancam jiwa sehingga seharusnya pada saat melapor harus segera dilakukan perlindungan.
Secepatnya dilakukan evakuasi korban yang masih ada di dalam genggaman pelakuatau apapun akan sangat membantu karena walaupun baru laporan pertama namun sejatinya korban dalam posisi sangat terancam karena pelaku sudah sangat gelap mata.
Sebenarnya dalam kasus KDRT korban dapat juga meminta perlindungan LPSK atau lembaga lain yang dapat melindungi korban seperti atau lembaga lain yang fokus pada perempuan dan anak, Korban bisa lapor polisi sambil minta perlindungan kepada LPSK atau ditemani LPSK membuat laporan ke polisi. Namun tidak semua daerah memiliki LPSK. Kalau memang harus mengajukan permohonan dulu maka artinya apakah perlindungan korban KDRT hanya mimpi? 🙁
Perbedaan penanganan pengaduan korban KDRT di beberapa daerah, termasuk banyaknya korban KDRT menunjukkan ada yang harus dibenahi. Mungkin kita membutuhkan prosedur mitigasi. KDRT tidak dapat disamakan dengan kejahatan biasa karena KDRT berbeda karakteristiknya. Dalam KDRT pelaku hidup bersama dengan korban, istilahnya pemangsa akan dengan mudah ‘mempermainkan’ mangsanya
sebelum memangsa. Korban pasti dalam kondisi tidak berdaya karena KDRT sifatnya eskalatif. Makanya sering kita lihat korban melapor ketika sudah ‘babak belur’.
Melihat kenyataan itu, harusnya kita gerak cepat ketika korban KDRT melapor sebelum dia babak belur. Dia tahu bila tidak melapor maka dia akan babak belur.
Jangan dibalik logikanya, karena tidak terluka maka dianggap belum terlalu mendesak untuk ditindak.
Dalam film-film luar negeri kita dapat melihat betapa pihak yang berwajib sangat peka terhadap laporan KDRT. Bila ada korban yang lapor maka yang dilakukan pertama adalah menjauhkan korban dari pelaku. Bila perlu pelaku ditahan supaya tidak mengancam istri hingga anak yang tinggal dengannya.
Tidak demikian disini. Secara personal saya pernah bertemu satu korban KDRT yang minta kami (lawfirm) bantu. Korban bercerita pernah di lempar pot besar beserta isinya dalam posisi terlentang tidak berdaya setelah kepala dipukul oleh suaminya (pelaku). Ketika berhasil kabur dan melapor (dengan ijin hendak
berbelanja). Oleh petugas yang menerima laporan korban diminta pulang dulu tanpa perlindungan. Cerita selanjutnya seperti yang bisa kita bayangkan, pelaku tahu bahwa dia dilaporkan dan akhirnya korban ‘disekap’ dalam rumah. Seingat saya beliau bisa keluar karena bantuan putra putri beliau. Ini kejadian mungkin 12 tahun yang lalu. Sebelum netizen jurnalism dan medsos marak seperti saat
ini. Miris rasanya melihat kenyataan masih banyak korban KDRT yang mengalami nasib yang sama setelah 12 tahun berlalu.
Kita harus bahu membahu untuk meliindungi korban KDRT karena selain pasangan yang lemah, korban KDRT yang utama adalah anak dan masa depan bangsa. Anak yang menyaksikan KDRT akan merekam kejadian kekerasan dalam alam bawah sadar mereka. Melihat orangtuanya terluka akan melukai mereka. Dan luka yang tersimpan dalam batin akan mempengaruhi bagaimana dia bereaksi terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kekerasan yang pernah dilihatnya, misalnya : karena sering melihat ibunyadipukul setiap ayahnya pulang maka setiap melihat mobil atau suara kendaraan yang mirip dengan milik ayahnya sang anak akan terserang panik, menangis histeris atau yang lainnya. Atau saat si anak dewasa, dia akan rentan memiliki trust issue dengan pasangannya, atau mungkin abussive terhadap pasangannya atau justru akan merasa dia layak diperlakukan seperti ibunya bila memiliki pasangan yang abussive. Bagaimana masa depan bangsa bila akibat KDRT turun temurun diwariskan ke generasi selanjutnya?
Saatnya kita membuat prosedur mitigasi dalam melindungi korban KDRT. Tidak perlu takut dianggap mencampuri urusan keluarga karena pasal 15 UU PKDRT mengatur bahwa Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan.
Walaupun tidak ada sanksi bagi orang yang melihat atau mengetahui namun tidak berupaya mencegah atau menolong namun setidaknya pasal ini memberi alasan bagi kita untuk membantu apabila disekitar kita ada korban KDRT. Jangan tunggu korban terluka karena mencegah tindak pidana juga merupakan kewajiban kita. KDRT bukan lagi urusan pribadi karena ada tindak pidana disini.
Sudah saatnya kita lebih peka terhadap korban KDRT dan tidak boleh abai lagi, karena ini tentang nyawa bukan lagi tentang hati dan supaya perlindungan terhadap korbannya bukan lagi sebatas mimpi…