
Minggu ini kita digemparkan oleh berita tentang Lesti yang mengalami KDRT. Menurut berita, dia dicekik dibanting berulang hingga beberapa bagian tubuhnya mengalami luka dan memar. Konon malah menurut berita ada cedera di kepala segala. Duh Gusti.. 🙁
Belum lagi berita tentang banyaknya korban tewas di Kanjuruhan. Membayangkan para korban teriak, minta tolong, sampai pingsan dan meninggal akibat terinjak-injak membuat hati ini seperti tersayat. Mana banyak perempuan dan anak yang juga jadi korban.
Teman saya bilang “salah orangtuanya sih ngajak anak nonton bola, udah tau pertandingan bola itu riskan” Saya katakan, pada dasarnya atau harusnya pertandingan itu aman dari tawuran anatar suporter karena suporter lawan tidak boleh dihadirkan. Makanya ada yang merayakan ulang tahun anaknya disana. Jadi sebenarnya kejadian ini karena ketidak cermatan atau karena kecerobohan?
Banyak orang bertanya-tanya, benarkan dua kejadian menyedihkan ini murni karena takdir dan kita cuma bisa sabar menerima?
Takdir itu sesuatu yang sudah digariskan Allah. Hanya Allah yang tahu kapan, kenapa dan untuk apa. Kita yang mengalami kejadian itu harus menerima dengan sabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Tapi sabar aja nggak cukup.
Kita hanya akan mengundang peristiwa yang sama terjadi lagi kalau kita ‘hanya’ mengandalkan sabar. Saya yakin KDRT yang dialami Lesti pasti bukan sekali ini. Pasti sudah pernah sebelumnya walaupun dengan skala yang berbeda. Mungkin kemarin ini puncaknya. Kenapa pelaku berani melakukannya berulang kali? Ya karena korban cuma sabar. Karakteristik KDRT adalah punya sifat eskalatif, jadi dia tidak akan berhenti di satu titik atau satu cara menyiksa. Dia akan terus meningkatkan kekuatannya untuk menyakiti sampai korbannya berubah: baik melawan atau justru ‘lumpuh’.
Demikian juga penggunaan gas air mata. Gas air mata sering digunakan untuk mengendalikan massa. Banyak ‘korban’ yang bercerita bagaimana paniknya mereka ketika dilempari gas air mata pada saat demo. Karena penggunaan gas air mata berhasil mengamankan pendemo sejauh ini, akhirnya pada saat tragedi tanpa berpikir lebih matang aparat mengeluarkan gas air mata sekali lagi tanpa melihat resiko dan berkoordinasi dengan pihak panitia. Misalnya sebelum ditembakkan setidaknya pintu harus terbuka semua, dan sebagainya.
Selain itu FIFA telah mengeluarkan larangan penggunaan gas air mata untuk pertandingan dalam Keselamatan dan keamanan Stadion FIFA)
Pasal 19. Pitchside stewards
b) No fire arms or “crowd control gas” shall be carried or used”
Artinya
“Senjata api atau “gas pengendali massa” tidak boleh dibawa atau digunakan”
Pasal 66. Violations (Pelanggaran)
“Pelanggaran terhadap peraturan ini dapat dikenakan tindakan disipliner di sesuai dengan Kode Disiplin FIFA, asalkan peraturan ini: berlaku sesuai dengan pasal 1.”
Bunyi pasal 1
1. Asosiasi tuan rumah acara FIFA harus menerapkan peraturan ini (termasuk: kualifikasi dan pertandingan final kompetisi) ketika acara ini berada di bawah administrasi langsung FIFA.
- Selanjutnya, FIFA merekomendasikan agar peraturan tersebut dijadikan pedoman untuk semua pertandingan internasional sesuai dengan Peraturan FIFA yang Berlaku Pertandingan Internasional.
- Jika sebuah asosiasi atau konfederasi menyelenggarakan acara yang akan diadministrasikan dan diatur oleh peraturan persaingannya sendiri, masing-masing peraturan keselamatan dan keamanan asosiasi atau konfederasi sendiri akan berlaku dan peraturan ini hanya dapat berfungsi sebagai pedoman.
- Peraturan ini merupakan persyaratan minimum; Namun, ketika ketentuan keselamatan dan keamanan masing-masing asosiasi atau konfederasi lebih ketat atau lebih lengkap daripada beberapa atau semua prinsip yang ditetapkan selanjutnya, ketentuan keselamatan dan keamanan tersebut akan berlaku.
Kalau memang begini, artinya ada kesalahan tindakan disini.
Hanya berpikir bahwa ini takdir yang harus diterima sama sakitnya dengan melupakan bahwa kita dan mereka yang jadi korban sangat berharga.
Kita biarkan orang lain melakukan kesalahan pada kita, kita biarkan diri kita jadi korban tanpa berusaha untuk mengingatkan mereka (bahwa kita bernilai) juga merupakan kebodohan yang nyata.
Setiap orang pasti punya nilainya sendiri. Value tidak dinilai berdasarkan rupiah. Nilai kita sesuai dengan kondisi kita. Misalnya, seorang ibu rumah tangga punya nilai ketika dia berhasil mengurus keluarga dan menjaga anak-anaknya dengan baik. Pada akhirnya investasi masa depan orangtua adalah anak-anak mereka. Tumbuh sehat, pinter, punya pekerjaan baik, bermanfaat bagi banyak orang dan tidak lupa mendoakan orang tua di setiap ibadahnya merupakan hal yang sangat berharga di saat bapak ibunya semakin menua. Maka dari itu, salah kalau ada yang membandingkan ibu rumah tangga dengan ibu bekerja. Ibu bekerja juga punya nilai lebihnya sendiri. Seharian bekerja diluar dan begitu pulang masih harus ‘mengurus’ rumah dan keluarga juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Diantara korban meninggal kemarin ada ayah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ada ibu yang menemani anak dan suaminya yang merupakan fans sejati Arema. Ada juga anak-anak yang tidak bisa lagi menggapai cita-citanya. Semua dari mereka punya nilai, sama seperti kita dan bapak-bapak (yang bertugas di pertandingan) itu. Trus bagaimana kita bisa menganggap rendah orang-orang yang hadir saat itu? Mereka dan keluarganya harus menanggung beban atas kesalahan orang lain. Semoga mendapatkan husnul chotimah 🙁
Kalau kita berpikir hanya harus sabar menerima ketetapan ini maka kita akan ikut salah. Sabar tidak boleh berjalan sendiri. Sabar harus berjalan beriringan dengan belajar. Yaps. Belajar.
Pada kejadian pertama mungkin karena kita terlewat untuk mengantisipasinya. Kita hanya tidak berpikir akan sejauh ini. Tapi dengan belajar, kita akan mencegah kejadian sama terjadi kedua kalinya. Kepada orang yang lainnya. Belajar dari semua cerita, pengalaman, kejadian akan membuat kita penuh ilmu.
Allah suka orang yang mau belajar. Di dalam surat az-Zumar ayat 9 Allah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.
Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, juga memuji orang yang berilmu, sebagaimana tersebut dalam beberapa haditsnya, seperti yang terdapat dapat kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din bab Adab al-‘Ilm, sebagai berikut:
روي عن النبي صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السّلام: إنّي عليم أحبّ كلّ عليم
“diriwayatkan dari Nabi Saw. beliau bersabda: Allah Swt memberi wahyu kepada Ibrahim as.: sesunggunya Aku (Allah Maha) mengetahui, Aku (Allah) mencintai orang-orang yang berilmu” (https://bdksemarang.kemenag.go.id/berita/keutamaan-orang-yang-berilmu)
Buat saya, ilmu bukan hanya tentang yang kita pelajari di sekolah. Ilmu yang kita dapatkan akan membantu orang lain dalam menghindari kejadian yang sama. Ilmu tetang kehidupan itu mahal karena sebagian besar tidak kita dapatkan di bangku sekolah. Syarat untuk bisa dapat ilmu tentang kehidupan ya harus belajar dari setiap kejadian dan pengalaman.
Hasil belajarnya nanti bukan hanya untuk menyelamatkan diri kita saja.
Kita juga bisa menyelamatkan orang lain, supaya tidak jatuh di lubang yang sama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesamanya?
Jadi jangan biarkan penderitaan kita ‘sia-sia’ ya 🙂
Setelah belajar, maka latih diri kita untuk berani bersuara. Bersuara untuk keadilan. Bersuara untuk mengingatkan orang lain bahwa yang dilakukannya terhadap kita salah. Jangan diam, hak kita tetap harus ditegakkan, atau dia akan mati perlahan..