
Kalimat sederhana ini dulu terdengar aneh, paranoid dan seperti terlalu ekstrem. Bukankah manusia adalah mahluk sosial, yang dalam hidupnya selalu membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain?
Kita seringkali terlalu naif di awal, namun berjalannya waktu kita tentu akan banyak belajar, baik dari berbagai referensi maupun melalui pengalaman sendiri. Dari pengalaman saya belajar bahwa teman yang sangat yang kita percaya sekalipun bisa menyerang kita. Dari pengalaman teman, saya belajar bahwa saudara tidak selamanya sadar bahwa blood is thicker than water. Saat ini di media bahkan banyak diberitakan perlakuan jahat orang tua ke anak dan anak kepada orangtuanya! Ini sih nggak masuk di logika saya..
btw kalau hubungan keluarga aja bisa nggak sesolid itu trus gimana hubungan cinta ya.. #halah
Mengharapkan orang lain melakukan sesuatu sesuai keinginan kita adalah mustahil. Mustahil kalau nggak diperjuangkan dulu. Misalnya, kita berharap teman mau menolong kita suatu saat nanti kalau kita butuh maka kita harus berjuang dulu meyakinkan dia bahwa kita pasti ada untuknya saat dibutuhkan. Hubungan kasualitas memiliki posisi penting saat ini.
No free lunch. Nggak ada makan siang gratis. Ini adagium lama yang menunjukkan bahwa nggak ada makan siang yang nggak perlu dibayar. (Tentu konsepnya beda dengan sedekah). kenapa makan siang sih? kalau dilihat sejarahnya, bisa jadi karena pada siang hari kita masih melakukan aktivitas yang produktif sehingga setiap orang pasti butuh makan.
Setiap makanan yang kita makan pasti ada harganya. Harus dibayar. Kalau nggak bayar pakai uang ya dianggap hutang. Hutang uang atau hutang budi yang akan tertagih suatu saat nanti.
Ini juga berlaku untuk hubungan pekerjaan, sesama rekan kerja, atasan-bawahan. Selama semua baik-baik saja maka hubungan yang terjalin juga pasti baik. Namun bila terjadi satu hal yang tidak diharapkan, maka kecenderungan manusia akan selalu mencari dan memberi dukungan apapun kepada siapapun yang menguntungkannya.
Tidak semua ya, tidak semua, karena ada satu dari sekian banyak orang yang tetap menjaga komitmennya. Kalau jaman sekarang orang-orang seperti ini justru dianggap idealis, nggak realistis. Padahal dia berjuang keras untuk nggak tergoda menggadaikan kepercayaan temannya.
One in a million ini mah..
Fakta ‘menyedihkan’ ini tergambar jelas pada sidang demi sidang yang disiarkan tentang pembunuhan Brigadir Joshua. Atasan yang awalnya mengayomi ternyata akhirnya justru mengorbankan, janji untuk melindungi yang terdengar meyakinkan berubah jadi saling menyalahkan, rekan yang dulu seperjuangan pada akhirnya melakukan pengkhianatan atau bawahan yang selama ini nggak berdaya justru berani berjuang sendiri.
Jangan percaya siapapun. Terutama bila diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani kita. Kita belum tentu dianggap ‘mengabdi’ seberapapun jauhnya kita meninggalkan otak dan hati untuk mereka.
Dalam sidang pembunuhan brigadir J, Richard Eleizer tampak ditinggal rekan-rekan seperjuangannya. Apapun yang diceritakannya dimentahkan oleh teman-temannya sendiri. Padahal sekian lama mereka bersama, hidup dalam satu rumah, mengabdi pada atasan yang sama tapi sepertinya tidak ada satupun yang berpihak padanya walaupun pada akhirnya hal-hal yang menjadi petunjuk terbuka perlahan. RR mengakui ditanya pak Sambo apakah siap menembak (atau memback up ya?) kalau Joshua melakukan perlawanan dan dijawab oleh RR tidak berani. Sejauh yang saya ingat kemudian dia diminta untuk memanggil Eleizer supaya menggantikan ‘perannya’. Akhirnya ini bisa disimpulkan seperti teman menjerumuskan teman. Gimana nggak? Dia sudah tau kenapa Eleizer dipanggil. Kalau memang tidak menjerumuskan, ya sebagai teman seperjuangan dia harus infokan tentang perintah FS kepada Eleizer supaya Eleizer bisa menghindar. Berdasar kesaksian, sebelumnya mereka sempat jalan bareng dan cerita-cerita banyak di Magelang, saya bayangkan hubungan keduanya akrab sebelum kejadian. Tapi akhirnya jadi begini, mereka kan rekan seperjuangan walaupun pangkatnya beda, yang satu lebih tinggi dari lainnya. Duh,kok jadi melow ya 🙁
Sepertinya prinsip never trust anyone juga berlaku pada beberapa pasangan. Hari ini saya mendengar cerita (yang kesekian kalinya) tentang hubungan perkawinan yang awalnya dibangun dengan menggunakan hati berubah menjadi sekedar transaksi. Betapa satu sama lain menyusun strategi untuk saling menjatuhkan dan meminimalisir kerugian. Pasangan yang karakternya baik akan bersedia menerima sedikit kekalahan walaupun dia tau itupun belum tentu bisa menghentikan masalah. Tapi orang baik pasti akan sellau mendapatkan yang terbaik, jadi semua resiko mereka hadapi dengan berani .
Pada persidangan yang menghadirkan pak FS sebagai saksi, di akhir sidang dia mengirimkan ‘pesan’ yang kurang lebih isinya begini: “saya sangat mncintai istri saya, dia cinta pertama saya sehingga saya percaya 100 bahkan 1000 persen apa yang disampaikannya”
Mungkin terdengar romantis, namun karena disampaikan pada saat mereka menjadi terdakwa dalam kasus besar maka kurang lebih bisa diambil kesimpulan bahwa “apapun tindak pidana yang telah dia lakukan semata2 karena dia percaya perkataan istrinya”. Bukankah itu malah membahayakan istrinya? *_*
Di hari yang berbeda, ketika bu PC menjadi saksi, diapun memberikan pernyataan yang seperti ‘pesan’ bahwa dia dipaksa suaminya untuk melaporkan Brigadir J dan konon dia sempat marah kenapa harus disangkut pautkan pada kejadian ini. Statement ini juga bukankah ini juga akan memojokkan suaminya?
ini judulnya saling cari aman ya.. :’)
Entah bagaimana hasilnya nanti. Yang jelas banyak yang bisa dipelajari dari kasus ini.
Jangan percaya siapapun yang meminta kita melakukan satu hal demi keuntungannya, terutama bila yang diminta bertentangan dengan nurani kita.
Kerelaan kita ‘berkorban’ hanya akan digunakan sebagai senjata di orang yang salah.
Rasa percaya punya proporsi, jangan terlalu percaya ‘mata’. Hanya karena terlihat baik belum tentu akan selamanya baik. Kepercayaan punya ujiannya sendiri. Penilaiannya terletak pada seberapa kuat masing-masing bertahan untuk tidak saling mengorbankan dan memanfaatkan pengorbanan satu dan lainnya.
“Don’t always trust what you see.
Even salt looks like sugar“