
Definisi umum Justice Collaborator (JC) adalah pelaku kejahatan yang membantu penegak hukum untuk memberikan keterangan yang relevan dan signifikan agar kasus yang ditangani menjadi jelas. Dalam UU no 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU no 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, justice collaborator dinyatakan sebagai Saksi Pelaku yaitu tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Dalam pertimbangan disusunnya undang-undang ini adalah karena melihat kenyataan bahwa untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli. Artinya, saksi pelaku atau JC adalah orang yang dibutuhkan untuk pengungkapan satu kasus pidana, karena posisinya yang penting dan vital dalam pengungkapan kasus maka negara memberikan kompensasi yaitu perlindungan dan penghargaan. Mengutip pernyataan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) Edwin Partogi dalam satu wawancara, sebenarnya yang paling mendapatkan manfaat adanya JC adalah penuntut umum.
Menjadi seorang saksi pelaku yang bekerjasama dengan aparat mengungkap kasusnya sungguh tidak mudah. Penuh resiko. Pun kasus Eleizer. Yang dihadapinya adalah mantan pejabat tinggi di kepolisian. Polisinya polisi. Tidak dapat dipastikan apakah dia masih punya pendukung atau tidak. Dimana saja pendukungnya. Karena itu pendampingan yang dilakukan oleh LPSK sangat efektif untuk melindungi Eleizer dari potensi ancaman, baik fisik atau psikis.
Perlindungan bukan hanya bagi JC, perlindungan pun dilakukan terhadap keluarga JC sebagaimana amanat UU PSK pasal 5 ayat (1) yang berbunyi saksi dan korban berhak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Terhadap seorang JC undang-undang pasal 10A ayat (3) juga megamanatkan untuk diberikan perhargaan berupa :
a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Pada awalnya JC ini difokuskan pada kasus korupsi, mengingat susahnya pengungkapan kasus korupsi. Bukan hanya di Indonesia namun juga di negara-negara lain. Karena itulah aturan tentang JC ini dimasukkan dalam konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption – UNCAC ), konvensi PBB tentang anti korupsi yang telah diratifikasi dengan UU no 7 tahun 2006 pasal 37 ayat (3) dengan terjemahan bebas sebagai berikut “setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan terhadap orang yang melakukan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini”. Artinya Indonesia tunduk pada kesepakatan ini.
Aturan tentang JC mengikat hakim, karena MA telah membuat SEMA No 4 tahun 2011. Dalam SEMA ini JC dan whistle blower tidak lagi memiliki ruang lingkup yang sempit karena jenis ‘tindak pidana tertentu yang bersifat serius’ dibuat terbuka dengan menggunakan frase “..maupun tindak pidana lainnya yang terorganisir yang menimbilkan ancaman dan masalah serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan supremasi hukum”. Pembunuhan seorang anggota polisi oleh anggota polisi atas perintah jendral polisi di rumah dinas polisi tampaknya layak masuk didalam kriteria tersebut. Terbukti dari atensi masyarakat yang tidak berhenti sejak saat Richard Eleizer mengakui bahwa ini adalah penembakan dan bukan tembak menembak. Apabila Eleizer tidak mengakui dan menceritakan kejadian sebenarnya maka masyarakat hanya harus ‘menerima’ kasus ini sebagaimana kasus tembak menembak antar anggota, sekeras apapun pengacara keluarga Joshua bersuara. Kasus ini menjadi terang dan cepat bergulir setelah Eleizer memutuskan untuk mengaku dan bersedia membantu (mengungkap fakta).
Pasca dibacakannya tuntutan 12 tahun kepada Eleizer, Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana mengungkapkan bahwa Eliezer tidak layak menjadi JC karena Eleizer bukanlah orang pertama yang menguak fakta hukum. (https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6525294/terkuak-alasan-jaksa-sebut-bharada-eliezer-bukan-justice-collaborator). Dalam SEMA pedoman untuk menerima seorang menjadi JC adalah orang yang melakukan dan mengetahui tindak pidana tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam SEMA ini dan JPU wajib dalam tuntutannya menyatakan bahwa terdakwa telah memberikan keterangan dan bukti yang signifikan sehingga membantu penyidik atau penuntut umum untuk mengungkap kasus tersebut supaya bisa diberikan kompensasi atau penghargaan berupa keringanan hukuman. Tidak ada ketentuan seorang JC harus mengungkap pertama.
Masalahnya dalam tuntutan yang dibacakan kepada para terdakwa kita melihat bahwa banyak kesimpulan yang justru diambil berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Eliezer. Kesimpulan tersebut yang digunakan menjadi dasar tuntutan. Contoh yang paling mencolok adalah ketika JPU menggunakan kalimat “woyy Tembak Cad! Cepat kau tembak!!” dan bukan “Hajar Cad!”. Kalimat ini juga digunakan untuk memberikan tuntutan kepada Ferdi Sambo. Artinya JPU terbantu dengan apa yang telah diungkapkan oleh Eliezer karena satu-satunya yang mberikan keterangan tentang ini hanya Eleizer. Terdakwa lain kompak mengatakan tidak tahu bagaimana Sambo memberi perintah saat itu walaupun kejadiannya di depan mata mereka.
Maka ketika JPU menyatakan bahwa Eleizer tidak layak menjadi JC hanya karena bukan yang pertama mengungkap kasus, bukankah ini tidak adil bagi Eliezer? Istilahnya, dipakai keterangannya tapi ditolak orangnya.
NF
Alasan lain JPU tidak diterimanya Eliezer sebagai JC karena dia adalah pelaku utama. Pasal 340 menyatakan“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun,” Pasal 338 menyatakan “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dua pasal inilah yang menjadi dasar tuntutan 12 tahun bagi Eleizer. Unsur utama dari kedua pasal tersebut adalah hilangnya nyawa seseorang. Bila mendengarkan kesaksian bahwa setelah Joshua ditembak Eleizer masih terdengar erangan kesakitan sampai akhirnya joshua ditembak dengan jenis peluru berbeda di bagian kepala yang menurut ahli sangat fatal akibatnya, maka untuk menentukan siapakah pelaku utama JPU hendaknya harus mendalami siapa yang menembak Joshua di bagian kepala tersebut.
Berdasarkan kesimpulan JPU Ferdi Sambo lah yang melakukan tembakan terakhir dan mengenai batang otak (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230118071647-12-901770/poin-poin-tuntutan-penjara-seumur-hidup-ferdy-sambo).
Kita beruntung bahwa sidang demi sidang dari kelima terdakwa berada di waktu yang berdekatan sehingga kita bisa ikuti prosesnya dengan jelas dan tanpa ‘jeda’.
Tidak susah bagi kita untuk saat ini menilai konsistensi.
Mengutip apa yang disampaikan Prof Gayus Lumbuun saat menjadi narasumber di sebuah stasiun TV bahwa hakim dan jaksa harus berhati-hati karena ini menyangkut tentang hidup dan masa depan terdakwa (Sambo) dan keluarganya, maka bisa juga berlaku untuk terdakwa Eliezer. Setelah proses persidangan selesai Eleizer akan ‘dilepas’ oleh LPSK, tidak ada perlindungan ekstra lagi untuknya. Apakah bisa dijamin bahwa saat ‘di dalam’ dengan waktu yang sangat lama Eleizer dan keluarganya akan tetap ‘baik-baik saja’? Eleizer masih muda, dia membuktikan dirinya patuh pada atasan dan berani menghadapi konsekuensi atas kejujuran seharusnya dipikirkan juga bagaimana masa depannya. Penembakan yang dilakukannya semata-mata karena patuh pada perintah karena antara dirinya dan Joshua tidak ada masalah. Dia tidak punya kepentingan atas penembakan yang dilakukan. Yang punya kepentingan hanya yang memberinya perintah dan yang membuat rencana.
Selain itu, dengan kesenjangan pangkat yang tinggi dan posisi Eleizer yang dianggap telah mengetahui rencana (penembakan) maka bisakah kita bayangkan bila dia berani mengatakan tidak? Bisa jadi justru dia juga akan dieksekusi. Menurut saya, kalimat menyanggupi Eleizer tidak bisa dibandingkan dengan penolakan yang dilakukan RR karena:
- jarak pangkat antara Sambo dan Eleizer terlalu jauh
- Eleizer baru bergabung sebagai ajudan, RR sudah relatif lama sehingga keberanian untuk komunikasi mereka dengan Sambo pun berbeda
- saat diberitahukan tentang skenario penembakan, Eleizer hanya menangkap bahwa itu perintah, bukan pilihan ganda, karena dia tidak tahu kalau sebelumnya RR sudah menolak perintah yang sama. Andaikan dia tahu bahwa yang rencana itu bisa ditolak bisa jadi diapun akan sekuat tenaga memilih untuk menolaknya.
Karena menganggap permintaan JCnya diterima karena LPSK sudah menyatakan demikian maka selama sidang Eleizer ‘mempertaruhkan’ keamanan dirinya dan keluarganya dengan menyatakan secara terang benderang dan konsisten apa yang diketahuinya. Pertaruhan ini bisa jadi bukan hanya berlaku selama sidang namun juga setelahnya karena dia orang kecil dengan pangkat terendah yang sudah berani melawan (mantan) jendral bintang dua yang kita tidak bisa pastikan apakah pengaruhnya juga hilang bersamaan dengan pangkat dan jabatan.
Sekali lagi walaupun tuntutan jaksa kepada para terdakwa membuat kasus ini anti klimaks bagi masyarakat namun kasus pembunuhan ini tetap menarik dan wajib untuk dicermati. Bagaimana penyelesaian kasus ini akan mempengaruhi penegakan hukum untuk kasus serupa nanti. Semoga yang dikatakan Prof Mahfud tentang gerakan bawah tanah yang sudah bisa diantisipasi tetap berlaku sampai akhir nanti 🙂
[…] seorang polisi dengan pangkat terendah harus bersaksi untuk polisinya polisi (pernah saya bahas di https://nyndafatmawati.com/kontroversi-jc/ ). Makanya ketika tuntutan jaksa dibacakan dan Eleizer dituntut 12 tahun pidana banyak yang […]