Sejak pandemi kan jarang banget jalan-jalan ya.. Nah selama liburan kemarin saya sempatkan jalan ke tempat-tempat yang dulu saya sering kunjungi. Mulai mall, resto dan semacam itu.

Sedih banget, beberapa resto favorit saya tutup, baik yang di mall atau yang di luar mall. Belum lagi beberapa brand yang selama ini buka di beberapa tempat mendadak susah ditemui.

Yang agak menghibur, munculnya banyak outlet-outlet baru yang catchy untuk dicoba. Rasanya not bad, begitupun untuk produk yang siap pakai lainnya. Memang tidak semua produk (baru) sebagus ‘kemasannya’, tapi karena mereka masih baru, ada semacam rasa ‘maklumin ajalah’ atau ‘sepertinya masih penyesuaian deh’ yang membuat saya sebagai konsumen nggak kecewa-kecewa banget. Selain itu, brand baru memiliki kelebihan khusus yaitu harga yang dipatok biasanya lebih murah dari produk yang sudah well known.

Cara penjualan yang masif dan maksimal dalam menggunakan media sosial juga pada awalnya menjadi ciri khas produk dan brand yang baru dirilis. Membaca beberapa data di media sosial tentang marketing, beberapa produk baru yang ‘hanya’ mengandalkan penjualan online justru profitnya nggak kaleng-kaleng. Mungkin ini juga yang menjadi alasan membuka outlet di mall bukan prioritas lagi seperti dulu.

Btw sekarang saya juga lagi suka belanja di Tiktok. Melihat orang menawarkan produk secara live sambil mencoba produk yang diperdagangkan lebih menarik buat saya, saya jadi ada gambaran nyata tentang produk yang akan saya beli. Jadi bukan hanya tergantung foto atau gambar, karena foto dan gambar bisa diedit sedangkan dalam siaran live paling banter presenternya pakai filter aja 🙂

Tampaknya bukan hanya saya yang merasakan kelebihan live tiktok shop itu karena konon penjualan di tiktok shop meningkat tajam, bahkan digadang-gadang akan mengalahkan market place saingannya dan membuat yang kalah gulung tikar, seperti JD,ID https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/63d7752967f6a/alasan-jdid-tutup-tiktok-shop-kalahkan-shopee-hingga-tokopedia.

Persaingan sengit yang dimenangkan oleh ‘pemain baru’ atau cerita tentang bisnis lokal yang merebut market dari bisnis yang lebih besar bukan lagi cerita baru di masa sekarang. It was unpredictable things, tapi sekarang cerita seperti ini jadi hal yang biasa. IMHO, semakin besar satu brand tampaknya semakin mudah dijadikan ‘sasaran tembak’, entah dalam hal produk, promosi hingga sistem bisnisnya. analoginya seperti gajah yang mudah tertembak karena tubuhnya sangat besar. Tidak butuh penembak jitu untuk bisa menembak obyek dengan tubuh sebesar itu, apalagi kalau obyeknya nggak lincah. Sang penembak hanya butuh berhati-hati supaya nggak di-noticed dan berbalik jadi target obyeknya. Mungkin ini alasannya, kenapa saat ini banyak yang memilih membuat jaringan bisnis yang sporadic daripada tunggal dan langsung besar seperti trend masa lalu.

Kualitas product dan pricing menjadi pertimbangan utama selain tempat (place) dan penempatan (placing/positioning). Kalimat “mau murah kok minta enak” sudah mulai tidak berlaku saat ini, karena banyak usaha yang menjual produk relatif murah tapi juga tetap menjaga kualitas produknya. Contohnya, sekarang banyak coffee shop yang literally hanya menjual minuman dan snack aja dengan harga terjangkau tapi tempat dan pelayanan yang diberikan tetap diperhatikan. Salah satu contohnya menurut saya brand Jokopi, kebetulan saya suka ice cream kopinya, harganya kurleb 15 ribuan, minuman lain juga nggak lebih dari 25an seingat saya, tapi di setiap gerainya pengunjung diberikan tempat yang nyaman, pelayanan yang bagus lengkap dengan satpam yang membantu pengemudi, beberapa gerai menyediakan jalur drive thru dan di salah satu (atau beberapa?) gerai sekarang buka 24 jam! ckckck..berapa banyak itu biaya operasionalnya dibanding harga produk yang sangat terjangkau. Tentu mereka sudah hitung baik-baik sebelum memutuskan. Yang mengherankan, saya pikir yang jadi costumernya adalah mahasiswa atau pelajar yang butuh tempat nongrong dengan budget terbatas, tapi seringkali saya lihat banyak juga pekerja dan orang-orang bisnis yang meet up disana. Disclaimer: mungkin tidak semua kota sama.. Disclaimer lagi: ini bukan endorse ya 🙂

Bukan hanya bisnis, dalam hidup pasti ada juga tipe orang yang mengejar supaya bisa menjadi ‘gajah’ atau sebaliknya ada juga tipe orang yang suka berproses tapi menikmati jadi ‘semut’ (atau kancil ya?) saja. Pada tipe pertama, targetnya adalah spot highlight. Pengakuan orang menjadi salah satu yang dituju. Namun untuk tipe yang kedua, dia tidak peduli pandangan orang, dia tidak butuh validasi siapapun, baginya yang penting berproses dan berprogress.

Masing-masing tipe punya kelebihan, pun resikonya. Kalau yang pertama mudah menjadi sasaran tembak, maka badan tidak besar yang bergerak diam-diam juga beresiko tertabrak atau terinjak karena tidak terlihat. Kelebihannya adalah kita bebas eksplore dan melakukan trial and error karena pandangan tidak fokus pada kita. Sebaliknya, menjadi besar dan berkuasa (seperti gajah) juga memiliki kelebihan yaitu orang mudah percaya dengan kredibilitas kita tanpa perlu susah-susah meyakinkan. Resikonya sekali jatuh banyak orang yang akan tahu, biasanya juga langsung berpengaruh pada kepercayaan mereka selama ini.

Dibalik bentuk yang besar biasanya tersimpan bahaya yang besar juga. Salut untuk orang-orang yang berhasil bertahan menjadi ‘gajah’, baik karena pencapaian ataupun karena sejak awal hanya mengejar pengakuan. Salut karena mereka harus ekstra hati-hati setiap ‘melangkah’. Mereka juga harus berusaha untuk tetap lincah supaya bisa menghindar dari bahaya dan tidak mudah goyah. That’s what i called Critical Elephant 🙂

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)