“Kita pilih siapa ni enaknya?” “Duh, aku bingung deh mau pilih siapa” “Kenapa ya kok si x kemarin waktu debat jawabnya begitu sih, kecewa aku” “Kamu pilih siapa Nyn?”

Itu beberapa pesan teman saya baik yang dikirim secara pribadi ataupun yang dipost di grup kami. Memang, menjelang 14 februari tahun depan topik yang selalu hangat adalah tentang pilpres. Pilpres ini seolah membuat kita melupakan rangkaian lainnya dalam Pemilu nanti, yaitu memilih anggota DPR dan DPD. Selain karena pilpres lebih seru mungkin juga karena siapa saja calegnya kita nggak begitu tau. Di berita sering disampaikan ada beberapa artis maju menjadi caleg, kalaupun tau artisnya kita nggak tau dapilnya . Intinya yang paling menarik pilpres aja udaah..

Bicara tentang pilpres, beberapa teman-teman saya suaranya terbagi ke setiap capres. Ada juga yang masih konsisten menjadi swing voter, pilihan baru akan diputuskan setelah melihat perkembangan. Swing voter seperti ini yang melihat semua secara obyektif. Saat nonton debat misalnya. Dia akan bisa menyimpulkan dengan akurat pendapat pribadinya dan siapa yang terbaik menurutnya. Dan ini akan mudah berubah kalau tampilan capres cawapres di debat berikutnya juga berbeda dari yang sebelumnya. Parahnya, dia juga bisa mempengaruhi pandangan teman-temannya yang sebelumnya punya jagoan jadi berubah pilihan! Jangan-jangan aslinya teman-temannya swing voter juga 😀

Di media sosial juga tidak kalah riuh. Ya iyyalah buzzer dimana-mana..

Berbicara tentang buzzer, saya termasuk orang yang agak alergi kalau ada capres yang biaya ‘belanja’ buzzernya tinggi. Bukan apa-apa, buzzer ini tugasnya kan membuat ‘berisik’ media sosial sehingga capres yang didukungnya trending terus. Mulai dari menyiapkan rencana promosi, pasang badan untuk setiap konfrontasi pun dilakoni. Sejak saat saya tau keberadaan dan banyaknya keuntungan yang diterima para buzzer saat itulah saya menjadi pemilih yang nggak baper.Buzzer adalah bagian yang integral dalam strategi pemasaran politik.

Dalam teori pemasaran politik yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw, dikatakan bahwa media massa memiliki kemampuan untuk memberikan tekanan pada suatu isu tertentu, dan dengan demikian dapat mempengaruhi persepsi dan penilaian masyarakat terhadap isu tersebut. Sebagai contoh, keberhasilan kampanye politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada masa lalu adalah bukti nyata dari kesuksesan pemasaran politik, mengingat partai politik yang didukung oleh SBY saat itu bukanlah partai terbesar yang mendominasi dalam hasil pemilihan umum.

Perlu dicatat bahwa strategi kampanye politik serta bentuk partisipasi politik pada masa lalu dan masa kini memiliki orientasi yang berbeda. Pada masa lalu, partisipasi politik umumnya dilakukan melalui tindakan konvensional seperti demonstrasi atau aksi turun ke jalan. Media seperti radio, televisi, surat kabar, dan film menjadi saluran komunikasi yang terbatas dalam memberikan informasi politik kepada masyarakat.

Namun, seiring berkembangnya teknologi, terutama internet dan media sosial, partisipasi politik telah berubah secara signifikan. Sekarang, partisipasi politik lebih sering dilakukan secara individual dan spontan melalui media sosial. Melalui internet, masyarakat dapat secara langsung berkontribusi dengan berbagi informasi atau pendapat mengenai isu-isu politik yang sedang dibahas. Selain itu, media sosial juga memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi dengan peserta politik langsung, memberikan umpan balik, dan ikut serta dalam diskusi politik secara lebih aktif.

Dalam konteks dukungan terhadap kandidat saat ini, teori difusi-inovasi yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker menjadi relevan. Teori ini menggambarkan proses penyebaran suatu penemuan atau ide baru dalam suatu masyarakat. Media sosial memainkan peran penting sebagai agen perubahan dalam menyebarluaskan informasi politik dan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap calon kandidat. Ketika ada hal-hal baru yang muncul, masyarakat cenderung ingin tahu dan memiliki keinginan untuk membagikan informasi tersebut kepada orang lain.

Sebagai hasilnya, konten yang berkaitan dengan calon presiden (capres) secara cepat menyebar di antara pemilih. Bahkan, kreator konten dengan jumlah pengikut yang besar menjadi sangat dicari, karena kreativitas mereka dapat menghasilkan konten yang mudah dibagikan dan menarik minat pengguna media sosial. Ketika konten tersebut dipublikasikan oleh kreator konten itu sendiri, secara otomatis akan dilihat oleh ribuan bahkan jutaan pengikutnya.

Saat ini, peran buzzer dalam strategi pemasaran politik semakin penting. Buzzer, yaitu individu atau kelompok yang diupah untuk mempengaruhi opini publik melalui media sosial, dapat memberikan dampak yang signifikan dalam mempercepat penyebaran informasi dan membentuk opini masyarakat. Dengan strategi yang tepat, buzzer mampu meningkatkan popularitas dan dukungan terhadap kandidat politik.

Peran media sosial dan buzzer dalam meningkatkan kesadaran publik dan mempengaruhi opini menjadi semakin penting bagi calon kandidat dan tim kampanye mereka. Masyarakat pun perlu menjadi lebih kritis dan berpikiran terbuka dalam menghadapi informasi yang mereka terima di media sosial, serta memahami bahwa buzzer mungkin memiliki kepentingan tertentu dalam menyebarkan informasi tersebut.

Artikel yang telah saya bahas dalam jurnal di sini juga membahas secara lebih detail tentang peran media sosial dalam pemasaran politik dan bagaimana teori difusi-inovasi dapat menjelaskan fenomena penyebaran konten politik di era digital saat ini.

Menurut saya fakta ini berkaitan dengan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap berita tentang kandidat yang disampaikan oleh media massa. Hal ini termasuk wajar, mengingat di Indonesia belum ada Media Ownership Limitation atau pembatasan kepemilikan media yaitu kebijakan yang bertujuan untuk mengatur dan membatasi jumlah kepemilikan media oleh satu pemilik atau entitas tertentu.

Tujuan utama dari pembatasan kepemilikan media adalah untuk menjaga keberagaman media serta mendorong adanya persaingan yang sehat dalam industri media. Dengan adanya pembatasan, diharapkan tidak ada satu pemilik atau entitas yang mengendalikan terlalu banyak media, sehingga pemilik tunggal tidak memiliki kekuatan yang berlebihan dalam mengontrol informasi yang disampaikan kepada masyarakat.

Pembatasan kepemilikan media biasanya diatur dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku di suatu negara. Setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda terkait hal ini. Sebagai contoh, ada negara yang membatasi kepemilikan media dengan membatasi persentase kepemilikan satu entitas di suatu media (misalnya, tidak lebih dari 20% kepemilikan media) atau batasan jumlah media yang dapat dimiliki oleh satu pemilik (misalnya, maksimum 3 media).

Tujuan di balik pembatasan kepemilikan media adalah untuk mendorong keberagaman pendapat, perspektif, dan sudut pandang yang disampaikan melalui media massa. Dengan adanya kepemilikan yang terbatas, diharapkan bahwa media akan memiliki keterlibatan dan perspektif yang lebih luas dalam membahas isu-isu penting yang berkaitan dengan masyarakat dan politik.

Secara keseluruhan, pembatasan kepemilikan media dapat menjadi instrumen penting bagi perlindungan keberagaman informasi, pluralisme, dan independensi dalam media massa. Dengan adanya keberagaman media yang sehat, masyarakat dapat mendapatkan akses ke berbagai sudut pandang dan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang cerdas dalam politik dan kehidupan sehari-hari.

Saat ini beberapa media malah nyata-nyata digunakan untuk mendukung satu pasangan karena pemiliknya adalah memiliki hubungan atau sebagai pendukung kandidat tersebut. Ini bukanlah kondisi ideal untuk perkembangan media massa karena menurut Kode Etik Jurnalistik media harus menjujung tinggi independensi.

Ini belum ditambah survey yang diadakan oleh media. Tidak dapat dipungkiri untuk melakukan polling mereka butuh ‘amunisi’. Untuk media yang besar mungkin bisa mengandalkan kredibilitasnya, walaupun belum tentu berbanding lurus dengan integritas mereka. Ada pasangan yang menang survey, dengan selisih yang agak jauh. Tapi memang faktanya mereka menjadi semacam media darling, muncul dengan narasi yang bagus di beberapa media. Uniknya, ternyata bukan hanya kita yang mengikuti, siapa capres pemenang survey juga menjadi sorotan media luar https://www.cnbcindonesia.com/news/20231211145039-4-496197/media-asing-sorot-pilpres-ri-sebut-capres-ini-menang-survei.

Flashback pada tahun 2019, pasangan Prabowo-Sandi berhasil memenangkan beberapa survei menurut laporan dari Databoks Katadata. Hasil survei ini menunjukkan popularitas pasangan Prabowo-Sandi yang cukup tinggi pada waktu itu.

Selain itu, dalam quick count yang dilakukan, pasangan ini bahkan mengklaim bahwa mereka berhasil mendapatkan 52% suara, seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan Prabowo-Sandi memiliki dukungan yang solid dari sebagian responden pada saat itu.

Namun, perlu diingat bahwa hasil survei dan quick count ini merupakan gambaran sementara dan tidak dapat dijadikan patokan mutlak untuk hasil akhir pemilihan. Hasil yang sesungguhnya ditentukan melalui proses penghitungan resmi yang dilakukan oleh negara.

Apa yang terjadi pada 2019 sangat membekas. Mungkin karena pasangan yang maju hanya 2. Akibatnya, perseteruan sengit tidak hanya terjadi di pusat namun hingga akar rumput atau masyarakat di daerah. Pertemanan yang rusak akibat berbeda dukungan banyak terjadi dan yang terparah perbedaan pilihan capres menjadi alasan perceraian wkwkwkk https://m.jpnn.com/news/kisah-pasutri-bercerai-gara-gara-beda-pilihan-soal-capres Saya pikir teman saya yang menuduh saya berbeda pilihan dengannya sehingga saya dianggap musuh oleh mereka sudah yang paling parah saat itu. Entah bagaimana mereka setelah tahu dua capres yang didukung dan yang dibencinya bersatu, malah sekarang mereka bersekutu maju. Yaa semoga hidup teman-teman saya itu lebih baik, pekerjaan lebih mapan, keluarga lebih sejahtera. Malulah sudah susah-susah promosi, provokasi sampai memusuhi gara-gara capres macam timses eh malah lupa fokus pada diri sendiri. Harusnya waktu itu sekalian ikut deklarasi, siapa tau di-noticed oleh calon yang dipilih (seperti yang pernah saya bahas di https://nyndafatmawati.com/caper-lewat-capres/ )

Etapi menurut saya sepertinya apa yang terjadi di 2019 tidak akan terjadi saat ini. Kalaupun terjadi tidak akan se-sengit dulu lagi karena ada 3 pasangan capres. Jadi suara terpecah jadi 3. Entah kalau ternyata harus 2 putaran ya.

Kalaupun harus 2 putaran, semoga situasinya tetap kondusif seperti ini karena fakta membuktikan tugas kita hanya memilih yang menurut kita baik, setelahnya ya kembali ke tugas semula. Jangan dipikir terlalu dalam karena mengubah bangsa tidak semudah mengubah diri kita.

Dukung capres terbaik sehingga yang terpilih nanti “Right man in the right place“. Tapi jangan terbawa emosi, tidak perlu terlalu serius menanggapi provokasi. Pilpres dan Pemilu adalah pesta demokrasi. Sebagaimana sebuah pesta, kita harus menyambutnya dengan bahagia. Intinya, jangan sampai pusing ya, karena masing-masing capres belum ada yang menjamin bahwa stress karena pilpres akan ditanggung BPJS 🙂

ditulis oleh

NF

orang yang sedang belajar menulis bebas dengan modal senang berbagi. Berharap semoga blog ini bisa jadi sarana cerita,berita dan berbagi ilmu baik tentang hukum, komunikasi, parenting, motherhood dan semua yang penting untuk dibagi :)