
Seharian ini berita heboh dengan vonis hakim atas Richard Eleizer yaitu 1 tahun 6 bulan, potong masa tahanan. Putusan yang sangat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hampir semua pihak bersuka cita, Mereka merasa perjuangan atas keadilan tidak sia-sia. Bahwa jarak lamanya hukuman antara tuntutan dan putusan yang jauh, semakin menjadi booster kebahagiaan hampir semua elemen masyarakat. Ucapan terima kasih silih berganti, mulai dari orang tua Eleizer, Joshua bahkan Prof Mahfud tidak henti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas putusan ini.
Bila kita melihat ke belakang, memang Eleizer ini terdakwa yang ‘istimewa’. Betapa tidak?. Dia yang dari awal merupakan pelaku kemudian dengan segala resiko memutuskan berubah menjadi saksi pelaku. Tidak mudah menjadi saksi pelaku, terutama dalam posisi Eleizer, seorang polisi dengan pangkat terendah harus bersaksi untuk polisinya polisi (pernah saya bahas di https://nyndafatmawati.com/kontroversi-jc/ ). Makanya ketika tuntutan jaksa dibacakan dan Eleizer dituntut 12 tahun pidana banyak yang menyayangkan. Pledoi yang dibacakan yang mempertanyakan apakah harga sebuah kejujuran adalah 12 tahun sangat menggugah nurani semua pihak.
Sepertinya benar, selama ini kita terlalu abai dengan kejujuran, kita melihat kejujuran hanya sepintas lalu, kita kurang mengakui bahwa kejujuran setara dengan kebenaran. Bila persidangan ini diadakan untuk mencari kebenaran dan memberikan keadilan, maka hendaknya kita juga ‘meyiapkan karpet merah’ untuk kejujuran. Apalagi kejujuran yang diberikan Eleizer berhasil membuka tabir kejahatan.
Yang membuat terharu, sebgaaimana pernyataan Prof Mahfud, hakim menerima dan mempertimbangkan semua keterangan yang masuk di akal, semua masukan semua pihak yang tidak mencederai akal sehat dan bahkan hakim juga mempertimbangkan masukan-masukan dari masyarakat salah satunya yang tertuang dalam amicus curae yang dikirimkan ICJR, Aliansi Akademisi Indonesia, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Atma Jaya, 122 Guru Besar dan lainnya. Mengutip statement Prof Mahfud, putusan ini mengakomodir public common sense.
Saya pribadi mengapresiasi putusan tersebut karena dalam pertimbangannya, hakim seriNgkali ‘memilih’ untuk tidak membuka front misalnya dengan menghilangkan kata perselingkuhan. Hakim menyatakan tidak terjadi kekerasan seksual namun juga tidak berspekulasi dengan melanjutkannya menggunakan frase “hubungan perselingkuhan” seperti dalam tuntutan jaksa (baca https://nyndafatmawati.com/semua-seharusnya-tak-sama/ ). Selain itu posisi Eleizer pada kejadian yang berada dalam dilema: menembak atau ditembak (baca https://nyndafatmawati.com/tembak-atau-hajar/ ) juga tidak luput dimasukkan dalam pertimbangan. Pamungkasnya, saat hakim menyebutkan dengan sangat jelas bahwa amicus curiae juga menjadi poin pertimbangan memastikan putusan ini menjadi putusan yang memuaskan hampir semua pihak.
Mengapa hakim memutuskan jauh di bawah JPU? Apakah JPU dalam hal ini melakukan ‘kelalaian’ sebagaimana yang beredar dalam beberapa platform media sosial?
Seharusnya kita bisa melihatnya dari pertimbangan, pertimbangan putusan dan pertimbangan tuntutan. Banyak hal baru yang dimasukkan dalam putusan yang tidak ada dalam tuntutan, misalnya tentang diterimanya status Justice Collaborator. Penerimaan Eleizer sebagai JC adalah hak mutlak hakim. Selain itu, masuknya Amicus Curiae dalam pertimbangan hakim juga pasti tidak ada dalam tuntutan jaksa, karena memang amicus curiae ditujukan kepada hakim, bukan jaksa. Artinya, wajar bila jaksa menuntut terdakwa hanya berdasar fakta persidangan tanpa pertimbangan-pertimbangan khusus yang memang menjadi wewenang hakim dalam membuat putusan. Dengan kata lain putusan hakim tidak bisa dibandingkan dengan tuntutan jaksa karena hakim memiliki wewenang yang lebih luas dalam mempertimbangkan dari segala aspek yang kita tidak akan tahu bobot masing-masingnya. Ojo dibandingke, kata Farel..
Toh, banyak pertimbangan jaksa yang juga diterima hakim, artinya tidak ada yang salah dari ‘kinerja’ jaksa. Malah bisa jadi sebenarnya jaksa juga berempati pada Eleizer seperti kita namun karena tuntutan profesi maka mereka harus melakukan tugasnya. Setidaknya ini tergambar dari betapa gesitnya para jaksa berdiri dan menjaga Eleizer sesaat setelah hakim menutup sidang. 🙂
Sebagaimana yang diatur dalam KUHAP pasal 233-243, para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya banding dalam 7 hari setelah putusan dibacakan. Apakah pihak Eleizer akan mengajukan banding? Melihat bagaimana bersyukurnya mereka mendengar vonis dibacakan sepertinya kecil kemungkinan pihak Eleizer mengajukan banding. Bagaimana dengan jaksa?
Pasal 8 ayat (4) UU no 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur bahwa “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasan ayat (2) juga dinyatakan bahwa “dalam melaksanakan jabatan fungsional di bidang penuntutan, jaksa bertindak sebagai wakil negara dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu pelaksanaan penuntutan harus berdasarkan hukum dan senantiasa mengindahkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kebijakan pemerintah dalam penanganan perkara pidana”. Artinya jaksa harus concern pada keadilan yang hidup di masyarakat. Banyaknya apresiasi terhadap putusan terhadap Eleizer dari berbagai elemen masyarakat cukuplah menjadi bukti bahwa putusan ini sudah memenuhi rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Selain itu, hampir semua pertimbangan jaksa dalam tuntutan yang juga dimasukkan dalam pertimbangan putusan, artinya hakim tidak berada di ‘posisi berseberangan’ dengan jaksa dalam hal ini. Hanya memang ada beberapa tambahan pertimbangan hakim berdasarkan pengajuan yang memang ditujukan khusus kepada hakim, seperti amicus curiae tadi. Sehingga tidak ada celah jaksa untuk merasa ‘harga diri’ sedang dipertaruhkan disini (mengutip beberapa narsum dalam dialog di televisi semalam).
Cara termudah untuk ‘memulihkan keadaan’ menurut saya adalah jaksa secara terbuka menyatakan bahwa tidak akan mengajukan banding. Masyarakat akan sangat respek dengan jaksa karena sesungguhnya masyarakat sudah menangkap keberpihakan jaksa pada kejujuran saat menggunakan kesaksian Eleizer sebagai pertimbangan.
Equum et bonum est lex legum
apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum.
Trimakasih… Pencerahannya…
Ditunggu tulisan tulisan berikutnya….
Siapp, terima kasiih..
Kereenn…
Alhamdullillaah, terima kasiiih 🙂